DENGUE SHOCK SYNDROME
PENDAHULUAN
Penyakit Demam Berdarah atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) ialah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan air laut.
Penyakit DBD sering salah didiagnosis dengan penyakit lain seperti flu atau tipus. Hal ini disebabkan karena infeksi virus dengue yang menyebabkan DBD bisa bersifat asimtomatik atau tidak jelas gejalanya. Data di bagian anak RSCM menunjukkan pasien DBD sering menunjukkan gejala batuk, pilek, muntah, mual, maupun diare. Masalah bisa bertambah karena virus tersebut dapat masuk bersamaan dengan infeksi penyakit lain seperti flu atau tipus. Oleh karena itu diperlukan kejelian pemahaman tentang perjalanan penyakit infeksi virus dengue, patofisiologi, dan ketajaman pengamatan klinis. Dengan pemeriksaan klinis yang baik dan lengkap, diagnosis DBD serta pemeriksaan penunjang (laboratorium) dapat membantu terutama bila gejala klinis kurang memadai.
Infeksi sekunder dengan serotipe virus Dengue yang berbeda dari sebelumnya merupakan faktor resiko terjadinya manifestasi Deman Berdarah Dengue yang berat atau Dengue Shock Syndrome (DSS). Namun sampai saat ini mekanisme respons imun pada infeksi oleh virus dengue masih belum jelas, banyak faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit Demam Berdarah Dengue antara lain faktor host, lingkugan (environment) dan faktor virusnya sendiri. Faktor host yaitu kerentanan (susceptibility) dan respon imun. Faktor lingkungan (environment) yaitu kondisi geografi (ketinggian dari permukaan laut, curah hujan, angin, kelembaban, musim); Kondisi demografi (kepadatan, mobilitas, perilaku, adat istiadat, sosial ekonomi penduduk). Jenis nyamuk sebagai vektor penular penyakit juga ikut berpengaruh.
Penyakit DBD pertama kali di Indonesia ditemukan di Surabaya pada tahun 1968, akan tetapi konfirmasi virologis baru didapat pada tahun 1972. Sejak
itu penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah, sehingga sampai tahun 1980 seluruh propinsi di Indonesia kecuali Timor-Timur telah terjangkit penyakit. Sejak pertama kali ditemukan, jumlah kasus menunjukkan kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit dan secara sporadis selalu terjadi KLB setiap tahun.
KLB DBD terbesar terjadi pada tahun 1998, dengan Incidence Rate (IR) = 35,19 per 100.000 penduduk dan CFR = 2%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10,17%, namun tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 (tahun 2000); 21,66 (tahun 2001); 19,24 (tahun 2002); dan 23,87 (tahun 2003).
Meningkatnya jumlah kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit,
disebabkan karena semakin baiknya sarana transportasi penduduk, adanya pemukiman baru, kurangnya perilaku masyarakat terhadap pembersihan sarang nyamuk, terdapatnya vektor nyamuk hampir di seluruh pelosok tanah air serta adanya empat sel tipe virus yang bersirkulasi sepanjang tahun.
Departemen kesehatan telah mengupayakan berbagai strategi dalam mengatasi kasus ini. Pada awalnya strategi yang digunakan adalah memberantas nyamuk dewasa melalui pengasapan, kemudian strategi diperluas dengan menggunakan larvasida yang ditaburkan ke tempat penampungan air yang sulit dibersihkan. Akan tetapi kedua metode tersebut sampai sekarang belum memperlihatkan hasil yang memuaskan. (1)
DEFENISI
Dengue shock syndrome (DSS) adalah sindrom syok yang terjadi pada penderita Dengue Hemorhagic Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue.
Dengue Shock Syndrome bukan saja merupakan suatu permasalahan kesehatan masyarakat yang menyebar dengan luas dan tiba-tiba, tetapi juga merupakan suatu permasalahan klinis, karena 30-50% penderita demam berdarah dengue akan mengalami renjatan dan berakhir dengan kematian terutama bila tidak ditangani sevara dini dan adekuat.(2)
ETIOLOGI
Demam dengue dan DHF disebabkan oleh salah satu dari 4 serotipe virus yang berbeda antigen.Virus ini adalah kelompok Flavivirus dan serotipenya adalah DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Infeksi oleh salah satu jenis serotipe ini akan memberikan kekebalan seumur hidup tetapi tidak menimbulkan kekebalan terhadap serotipe yang lain. Sehingga seseorang yang hidup di daerah endemis DHF dapat mengalami infeksi sebanyak 4 kali seumur hidupnya. Dengue adalah penyakit daerah tropis dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk ini adalah nyamuk rumah yang menggigit pada siang hari. Faktor resiko penting pada DHF adalah serotipe virus, dan faktor penderita seperti umur, status imunitas, dan predisposisi genetis. (3)
INSIDEN
Suat penelitian di Jakarta oleh Sumarmo (1973-1978) mendapatkan bahwa penderita DSS terutama pada golongan umur 1-4 tahun (46,5%), sedang wong (1973) dari singapura melaporkan pada umur 5-10 tahun dan di Manadoterutama dijumpai pada umur 6-8 tahun kemudian pada tahun 1983 didapatkan terbanyak pada umur 4-6 tahun.
Tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin tetapi kematian lebih banyak ditemukan pada anak perempuan daripada anak laki-laki.
Jumlah penderita DBD/DHF yang mengalami renjatan berkisar antara 26-65%, dimana Sumarmo dkk. (1985) mendapatkan 63%, Kho dkk. (1979) melaporkan 50%, Rampengan (1986) melaporkan 59,4% sedangkan WHO (1973) melaporkan 65,45% dari seluruh penderita demam berdarah dengue yang dirawat. (2)
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi yang terutama pada Dengue Shock Syndrom ialah tejadinya peninggian permeabilitas dinding pembuluh darah yang mendadak dengan akibat terjadinya perembesan plasma dan elekrolit melalui endotel dinding pembuluh darah dan masuk kedalam ruang interstitial, sehingga menyebabkan hipotensi, hemokonsentrasi, hipoproteinemia dan efusi cairan ke rongga serosa.
Pada penderita dengan renjatan berat maka volume plasma dapat berkurang sampai kurang lebih 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Renjatan hipovolemi ini bila tidak segera diatasi maka dapat mengakibatkan anoksia jaringan, asidosis metabolik, sehingga terjadi pergeseran ion kalium intraseluler ke ekstraseluler. Mekanisme ini diikuti pula dengan penurunan kontraksi otot jantung dan venous pooling, sehingga lebi lanjut akan memperberat renjatan.
Sebab lain kematian penderita DSS ialah perdarahan hebat saluran pencernaan yang biasanya timbul setelah renjatan berlangsung lama dan tidak diatasi adekuat.
Terjadinya perdarahan ini disebabkan oleh :
a. Trombositopenia hebat, dimana trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai terendah pada masa renjatan.
b. Gangguan fungsi trombosit
c. Kelainan system koagulasi, masa tromboplastin partial, masa protrombin memanjang sedangkan sebagian besar penderita didapatkan masa thrombin norma. Beberapa factor pembekuan menurun, termasuk factor II, V, VII, IX, X dan fibrinogen.
d. Pembekuan intravaskuler yang meluas (Disseminated Intravascular Coagulation DIC). (2)
MANIFESTASI KLINIS
Dengue Shock Syndrome (DSS) menurut klasifikasi WHO (1975) merupakan demam berdarah dengue derajat III dan IV atau demam berdarah dengue dengan tanda-tanda kegagalan sirkulasi sampai tingkat renjatan. (3,4,5,6)
Renjatan :
Terjadinya renjatan pada DBD biasanya terjadinya pada saat atau setelah demam menurun yaitu siantara hari ke-3 dan ke-7, bahkan renjatan dapat terjadi pada hari ke-10.
Manifestasi klinik renjatan pada anak terdiri atas :
a. Kulit pucat, dingin dan lembab terutama pada ujung jari kaki, tangan dan hidung.
b. Anak semula rewel, cengeng dan gelisah lambat-laun ksadaran menurun menjadi apati, spoor dan koma.
c. Peubahan nadi baik frekuensi maupun amplitudonya.
d. Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang.
e. Tekanan sistolik menurun menjadi 80 mmHg atau kurang.
f. Oligouri sampai anuria. (infeksi tropic)
Berdasarkan gangguan sirkulasi di atas, maka sebaian ahli membagi renjatan atas:
a. Renjatan berat (profound shock) ialah renjatan yang ditandai oleh tekanan darah yang tidak dapat diukur dan nadi ta dapat diraba.
b. Renjatan sedang ialah tekanan nadi menurun 20 mmHg atau lebih dan atau tekanan darah sistolik kuranh atau sama dengan 80 mmHg.
Panas :
Merupakan salah satu manifestasi klinik yang selalu ditemukan, kebanyakan peneliti melaporkan 100% penderita DSS didahului oleh panas.
Sumarno (1983) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa suhu penderita DSS terendah ialah 36,2 derajat celcius dan tertinggi 40,8 derajat celcius dan ternyata DSS banyak dijumpai pada suhu sekitar 37 derajat celcius.
Panas mempunyai nilai prognostic pada penderita DSS ; bila renjatan terjadi pada suhu tubuh lebih dari 39 derajat celcius, maka tingkat prognose jelek.
Hepatomegali :
Dilaporkan dari berbagai tempat dengan angka bervarisi. Di Indonesia (Jakarta) dilaporkan 89%, semarang 65,9% dan Cuba 62 %.
Terdapat korelasi antara persentase hepatomegali dengan derajat berat penyakit tetapi pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit, dengan kata lain, pembesaran hati pada penderita DBD derajat IV tidak selalu lebih besardari penderita DBD derajat II. (2)
DIAGNOSIS
Hingga kini diagnosis DBD/DSS masih berdasarkan atas patokan yang telah dirumuskan oleh WHO pada tahun 1975 yang terdiri dari 4 kriteria klinik dan 2 kriteria laboratorik dengan syarat bila criteria laboratorik terpenuhi ditambah minimal 2 kriteria klinik (satu diantaranya ialah panas) seperti yang telah diuraikan diatas.
Derajat I dan II disebut DHF/DBD tanpa renjatan sedang derajat III dan IV disebut DHF/DBD dengan renjatan atau DSS. (3,4,5,6)
Wong dkk. (1973) juga mengemkakan beberapa tanda dan gejala yang perlu diperhatikan dalam diagnosis klinim penderita dengue shock syndrome, yaitu :
1. Clouding of sensorium
2. Tanda-tanda hipovolemia, seperti akral dingin, tekanan darah menurun.
3. Nyeri perut
4. Tanda-tanda perdarahan diluar kulit, dalam hal ini seperti epistaksis, hematemesis, melena, hematuri, dan hemoptisis.
5. Trombositopenia berat
6. Adanya pleural efosion pada toraks foto
7. Tanda-tanda miokarditis pada EKG. (2)
PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya bersifat suportif,yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Pasien DB dapat berobat jalan,sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa, tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Fase kritis pada umunya terjadi pada hari ke-3.
Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul akibat demam tinggi,anoreksia dan muntah. Pasien perlu diberi minum banyak,50ml/kgBB dalam 4-6 jam pertama berupa air teh dengan gula,sirup,susu,sari buah atau oralit. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi,berikan cairan rumatan 80-100ml/kgBB dalam 24 jam berikutnya. Hipererksi dapat diatasi dengan antipiretik,dan bila perlu surface cooling dengan kompres es dan alkohol 70%.Parasetanol direkomendasikan untuk mengatasi demam dengan dosis 10-15mg/kgBB/kali.
Penanganan Syok
Dalam keadaan renjatan berat diberikan cairan ringer laktat secara cepat selama 30 menit,apabila tidak teratasi dapat diganti dengan koloid 10-20ml/kgBB/jam,dengan jumlah maksimal 30 ml/kgBB,akan tetapi bila masih belum berhasil diduga telah terjadi perdarahan,maka dianjurkan pemberian tranfusi darah segar.Apabila kadar Ht tetap >40 vol%,berikan darah sebanyak 10ml/kgBB/jam,tapi bila perdarahan masif berikan 20ml/kgBB. Bila renjatan tidak berat,maka berikan cairan dengan kecepatan 20ml/kgBB/jam.
Bila renjatan sudah diatasi,nadi sudah teraba,amplitudo nadi cukup besar,tekanan sistolik 80mmHg atau lebih,maka kecepatan tetesan dikurangi menjadi 10ml/kgBB/jam.Kecepatan pemberian cairan selanjutnya disesuaikan dengan gejala klinik dan nilai hematokrit yang diperiksa periodik.Evaluasi klinis,nadi,tekanan darah,pernafasan,suhu dan pengeluaran urin dilakukan lebih sering.
Penyulit-penyulit
1. Perdarahan massif
2. Kegagalan pernapasan akibat udema parau atau kolaps paru
3. Ensefalopati dengue
4. Kegagalan jantung.
Kriteria Memulangkan Pasien :
1. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
2. Nafsu makan membaik
3. Tampak perbaikan secara klinis
4. Hematokrit stabil
5. Tiga hari setelah syok teratasi
6. Jumlah trombosit >50.000/ml
7. Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis).
PENCEGAHAN
Pengembangan vaksin untuk dengue sangat sulit karena keempat jenis serotipe virus bisa mengakibatkan penyakit. Perlindungan terhadap satu atau dua jenis serotipe ternyata meningkatkan resiko terjadinya penyakit yang serius.
Saat ini sedang dicoba dikembangkan vaksin terhadap keempat serotipe sekaligus. sampai sekarang satu-satunya usaha pencegahan atau pengendalian dengue dan dhf adalah dengan memerangi nyamuk yang mengakibatkan penularan. a. aegypti berkembang biak terutama di tempat-tempat buatan manusia, seperti wadah plastik, ban mobil bekas dan tempat-tempat lain yang menampung air hujan. nyamuk ini menggigit pada siang hari, beristirahat di dalam rumah dan meletakkan telurnya pada tempat-tempat air bersih tergenang.
Pencegahan dilakukan dengan langkah 3m :
1. menguras bak air
2. menutup tempat-tempat yang mungkin menjadi tempat berkembang biak nyamuk
3. mengubur barang-barang bekas yang bisa menampung air.
Di tempat penampungan air seperti bak mandi diberikan insektisida yang membunuh larva nyamuk seperti abate. Hal ini bisa mencegah perkembangbiakan nyamuk selama beberapa minggu, tapi pemberiannya harus diulang setiap beberapa waktu tertentu. di tempat yang sudah terjangkit dhf dilakukan penyemprotan insektisida secara fogging, tapi efeknya hanya bersifat sesaat dan sangat tergantung pada jenis insektisida yang dipakai. Di Samping itu partikel obat ini tidak dapat masuk ke dalam rumah tempat ditemukannya nyamuk dewasa. Untuk perlindungan yang lebih intensif, orang-orang yang tidur di siang hari sebaiknya menggunakan kelambu, memasang kasa nyamuk di pintu dan jendela, menggunakan semprotan nyamuk di dalam rumah dan obat-obat nyamuk yang dioleskan. (3)
PROGNOSA
Prognosa penderita tergantung dari beberapa factor :
1. Sangat erat kaitannya dengan lama dan beratnya renjatan, waktu, metode, adekuat tidaknya penanganan.
2. Ada tidaknya rekuren syok yang terutama terjadi dalam 6 jam pertama pemberian infuse dimulai.
3. Panas selama renjatan
4. Tanda-tanda serebral. (2)
DAFTAR PUSTAKA
1. Wahono TD., dkk., Demam Berdarah Dengue. Available at ; http://www.dkk-bpp.com
2. Rampengan T.H., Laurentz I.R., Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 1997. p.136-157
3. Demam Berdarah Dengue. Available at ; www.medicastore.com
4. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universia Indonesia. Jakarta. 1985. p.607-21.
5. Behrman RE., et.al. Nelson Textbook of Pediatrics. 17th edition.Saunders, Philadelphia.2004
6. Diktat Penyakit Infeksi. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar. 2003. p. 39-57
Terimakasih dokter, berkat artikel ini pengetahuan saya mengenai DBD meningkat. Artikel nya bermanfaat, detail & lengkap.
BalasHapus