The Internet Journal
of Emergency & Intensive Care Medicine. 2005. Volume 8 Number 2.
Peranan Diuretik Pada Unit Perawatan Intensif: Review
(Tinjauan pustaka)
Amyn Haji, MA MBBChir MRCS, Specialist registrar General Surgery, William
Harvey Hospital, East Kent NHS Trust, Kent UK
Daftar Isi
Abstrak
Gagal ginjal akut
Gagal jantung kongestif
Trauma kepala
Bayi prematur dengan sindrom distres pernapasan
Daftar Pustaka
Abstrak
Diuretik merupakan obat yang menyebabkan hilangnya
natrium dan air dari dalam tubuh melalui kerja pada ginjal. Efek utamanya
adalah menurunkan reabsorpsi natrium dan klorida pada filtrasi, peningkatan
pengeluaran air sebagai akibat sekunder dari peningkatan ekskresi garam. Ada
beberapa macam jenis diuretik yang sangat berbeda dalam derivat kimia,
efektivitas, tempat bekerja, dan mekanisme kerjanya atau farmakologi dan
farmakodinamiknya. Efektivitas pemakaian diuretik membutuhkan pengetahuan
tentang obat diuretik tersebut serta pemahaman mengenai patofisiologi penyakit
pasien. Diuretik mempunyai banyak kegunaan dalam klinik termasuk pada udem,
hipertensi, penanganan hiperkalsemia dengan loop diuretik, pengobatan diabetes
insipidus atau hiperkalsiuria dengan diuretik thiazid, penanganan glaukoma
dengan inhibitor karbonik anhidrase, dan pada penanganan udem serebral dengan
obat osmotik.
Pemakaian diuretik pada kondisi perawatan akut merupakan
topik penting pada penelitian klinik dan laboratorium. Diuretik merupakan salah
satu obat yang sering digunakan pada unit perawatan intensif dan balans cairan
mendapat perhatian yang banyak bagi dokter yang bekerja pada unit perawatan
intensif dan ahli anesthesi.
Tujuan Penulis adalah untuk melakukan review (tinjauan pustaka) sistematik
pada literatur yang membahas penggunaan diuretik pada pasien penyakit kritis di
unit perawatan intensif. Kami mencari literatur pada MEDLINE (1974-2004) dan Cochrane Controlled Trials Register (CCTR)
untuk penelitian dengan randomisasi dan menggunakan kontrol, untuk mereview
(meninjau) resiko dan manfaat diuretik pada 4 kelompok pasien. Kelompok ini
adalah pasien dengan gagal ginjal akut, gagal jantung kongestif, trauma kepala
berat, dan juga bayi prematur dengan sindrom distres pernapasan.
Gagal Ginjal Akut.
Gagal ginjal akut merupakan masalah signifikan dan
persisten dengan komplikasi serius pada pasien penyakit kritis dan merupakan
masalah pada unit perawatan intensif (ICU) yang paling sering membutuhkan
konsultasi nefrologi. Laporan prevalensinya antara 3% dan 30% bergantung pada
definisi GGA dan kombinasi kasus dari populasi pasien yang diteliti.1
Prognosisnya buruk terutama pada pasien ICU dan pada pasien di mana GGA
merupakan bagian dari sindrom disfungsi organ multipel. Misalnya, mortalitas
(kematian) pada pasien ini dilaporkan 45% pada pasien GGA nonseptik dan 75%
pada pasien dengan GGA septik.2,3
Ada beberapa argumentasi teoritis yang mendukung penggunaan
mannitol dan loop diuretik untuk pencegahan atau penanganan gagal ginjal akut. Kedua
obat ini dapat menginduksi diuresis, berpotensi mengeluarkan sumbatan debris
dan bekuan. Mannitol dapat mempertahankan fungsi mitokondria yaitu secara
osmotik meminimalkan udem post-iskemik dan menetralkan radikal bebas.4 Loop
diuretik telah dilaporkan memperbaiki oksigenasi medula, kemungkinan karena
obat ini menurunkan penggunaan oksigen secara selektif pada bagian dari tubula
ini dengan menghambat transport aktif.5,6 Akibat penurunan kebutuhan energi ini dapat
melindungi sel ginjal pada kondisi iskemik. Di samping itu, loop diuretik dapat
berfungsi sebagai vasodilator ginjal.7,8 Meskipun mekanisme di atas
telah dikemukakan, tapi masih belum jelas bagaimana hubungan teori ini dengan
patofisiologi yang sebenarnya pada pasien perorangan.
Beberapa penelitian klinis telah meneliti penggunaan loop
diuretik pada pasien GGA. Mehta dkk9 menganalisa pengeluaran dari
pasien ICU dengan GGA yang menerima konsultasi nefrologi pada empat rumah sakit
pendidikan selama 6 tahun. Pasien yang mendapat loop diuretik atau kombinasi
thiazid dan loop diuretik pada saat konsultasi nefrologi dibandingkan dengan
kelompok pasien yang sama tetapi tidak mendapatkan diuretik. Penggunaan
diuretik menyebabkan peningkatan mortalitas di rumah sakit sebanyak 68%, dan
peningkatan 77% dari rasio kematian atau kegagalan pemulihan fungsi ginjal.
Risiko yang tinggi terutama terlihat pada pasien yang relatif tidak responsif
terhadap diuretik. Ini adalah satu-satunya penelitian yang menyatakan
penggunaan diuretik berbahaya pada pasien namun mungkin juga bahwa diuretik ini
lebih sering dipakai pada pasien yang memang kondisi sudah lebih buruk. Efek
negatif dari diuretik yang dilaporkan Mehta dkk, mungkin juga disebabkan karena
diuretik mengubah oliguria menjadi non oliguria dan karenanya telah
memperlambat diagnosa adanya GGA atau tidak menggangapnya parah. Hal ini mungkin
telah memperlambat untuk memperoleh konsultasi dari ahli ginjal atau untuk
memulai dialisis ginjal. Namun perlu juga dicatat bahwa 12% dari pasien, diuretik
hanya diresepkan setelah konsultasi nefrologi.
Pada penelitian Mehta9, juga mengejutkan bahwa
hasil yang buruk lebih sering pada pasien yang tidak respon terhadap pemberian
diuretik. Nampaknya bahwa dokter di perawatan intensif akan menghubungi ahli
ginjal lebih awal pada pasien yang tetap oliguria setelah pemberian diuretik,
sehingga dialisis akan dimulai lebih awal pada pasien oliguria. Makalah
tersebut tidak memberikan informasi lanjut mengenai penyebab kematian, interval
waktu sampai dialisis dimulai, atau jenis dialisis, sehingga kemungkinan
mortalitas yang lebih tinggi tidak berhubungan dengan penggunaan diuretik tapi
mungkin berhubungan dengan terapi dialisis.
Selain itu, juga terdapat variasi yang besar dari
parameter fisiologi hidrasi pada pasien penelitian ini, yang menunjukkan bahwa
banyak pasien tidak dalam hidrasi yang adekuat, meskipun mendapatkan diuretik.
Di samping itu konsultasi nefrologi juga lambat diminta pada saat kreatinin
serum rata-rata 3.6 mg/dl (318umol/l) pada pasien yang mendapat diuretik dan 4
mg/dl(354umol/l) pada pasien yang tidak mendapatkan diuretik. Usia rata-rata dan
prevalensi gagal jantung kongestif dan gagal napas juga tinggi pada pasien yang
menerima diuretik. Hal ini menunjukkan bahwa pasien ini mungkin mempunyai
penyakit yang lebih berat dibandingkan dengan kelompok kontrol, tetapi kedua
kelompok tersebut mempunyai skor evaluasi fisiologi akut dan kesehatan kronik
(Acute Physiology and Chronic Health Evaluation, APACHE) II dan III yang sama.
Namun sistem skoring seperti ini tidak terlalu tepat untuk pasien ICU dengan
GGA.10
Ada beberapa penelitian sebelumnya yang menyebutkan
keterbatasan diuretik untuk pencegahan dan penanganan pasien GGA, namun sampai
sekarang tidak ada penelitian yang melaporkan bahwa diuretik berhubungan dengan
resiko kematian yang tinggi dan kegagalan pemulihan fungsi ginjal pada pasien kritis
seperti yang dilaporkan oleh Mehta dkk.
Dua penelitian dengan randomisasi dan menggunakan kontrol
selanjutnya, melibatkan 66 dan 58 pasien dengan nekrosis tubular akut, telah
meneliti penggunaan loop diuretik pada pasien GGA. Penelitian ini menunjukkan
bahwa furosemid dosis tinggi dapat menginduksi pengeluaran urin yang tinggi,
mengubah gagal ginjal oliguria menjadi gagal ginjal non oliguria, namun hal ini
tidak berhasil menurunkan kebutuhan untuk dialisis dan tidak menurunkan
mortalitas.11,12 Meskipun diuretik dosis tinggi tidak mempengaruhi
prognosis pasien GGA,13,14,15 konversi dari GGA oliguria menjadi GGA
non oliguria mempermudah perawatan pasien. Jika diuresis terjadi, hal ini akan
menjadikan asupan cairan lebih bebas dan mempermudah pemberian nutrisi enteral
dan parenteral. Diuresis ini juga memberikan informasi prognostik bahwa pasien
mempunyai GGA yang tidak begitu berat.
Lebih lanjut, Lassnigg dkk16 juga melaporkan
bahwa infus furosemid kontinyu berakibat negatif pada proteksi disfungsi ginjal
setelah operasi jantung dan berhubungan dengan tingginya angka kerusakan
ginjal. Nampaknya bahwa di laboratorium, loop diuretik seperti furosemid dapat
memudahkan agregasi protein Tamm-Horsfall pada lumen tubulus, mekanisme yang
diduga menyebabkan obstruksi intratubular dan berperan pada kerusakan ginjal.17
Terlepas dari
keterbatasan semua penelitian ini, penelitian oleh Mehta dkk, terutama penting
secara klinis karena pemberian diuretik pada pasien oliguria masih sering
dilakukan. Sepertinya, bahwa sampai kita mendapatkan data dari penelitian
klinis yang berkualitas dan akurat yang dapat menjawab apakah loop diuretik
membahayakan pasien penyakit kritis dengan GGA, praktek pemberian rutin obat
ini harus dihentikan dan kita harus berpikir dua kali sebelum meresepkan loop
diuretik di ICU. Penelitian dengan loop diuretik harus dilakukan setelah
koreksi yang teliti terhadap status volume (cairan), waktunya harus dibatasi,
dan tidak seharusnya menunda konsultasi dengan ahli ginjal atau dokter ICU yang
berpengalaman dengan GGA. Kita harus menyadari bahwa keberhasilan mengkonversi
oliguria menjadi diuresis hanya merupakan tanda dari adanya GGA yang lebih
ringan dan tidak memiliki efek prognostik serta tidak berarti boleh menunda
dialisis jika memang diperlukan.18
Gagal Jantung Kongestif
Gagal jantung kongestif merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia.19 Diuretik dianggap
sebagai penanganan garis pertama pada pasien gagal jantung kongestif, tanpa
memandang etiologi, umur, jenis kelamin, dan karakteristik individual dari
pasien karena obat ini memberikan perbaikan simptomatik.20,21,22
Penurunan kongesti dan udem paru menghilangkan gejala sesak napas, dan akibat
penurunan udem perifer, distensi hepar, dan udem intestinal akan memperbaiki
keadaan umum pasien.23,24 Obat ini memberikan perbaikan simptomatik
lebih cepat dari obat lain apa pun untuk gagal jantung karena obat ini menghilangkan
udem perifer dalam beberapa jam atau hari saja, sedangkan efek klinis dari
digitalis, inhibitor enzim angiotensin converting atau beta blocker mungkin
butuh waktu beberapa minggu atau bulan baru nampak. Meskipun penggunaan
diuretik telah diterima secara luas di klinis, namun ada ketidakpastian mengenai
efektivitas terapeutik yang tepat karena tidak ada penelitian yang berskala
besar mengenai efeknya pada kemajuan penyakit dan survival (kelangsungan
hidup). Ini sebagian mungkin disebabkan oleh kenyataan bahwa diuretik telah
menjadi standar pengobatan pasien gagal jantung, terutama dengan gejala
kongesti. Ini adalah alasan utama sulitnya melakukan penelitian randomisasi,
meskipun bukti manfaat pada mortalitas sangat jarang.
Perhatian untuk melakukan penelitian klinis yang menggunakan
loop diuretik dan thiazid terutama distimulasi sejak publikasi penelitian RALES
pada tahun 1999 yang meneliti peranan antagonis aldosteron.25
Meskipun aldosteron bukan merupakan diuretik yang biasa digunakan, ini
menimbulkan pertanyaan di benak kita mengenai bukti formal untuk loop diuretik
dan thiazid. Kolaborasi Cochrane sedang meneliti hal ini dan telah menerbitkan
protokol lebih awal di tahun 2004 dan kita menunggu hasil mereka dengan
pengharapan.
Ada beberapa penelitian yang berskala lebih kecil yang
membandingkan infus kontinyu loop diuretik dengan bolus intermiten pada pasien
gagal jantung kongestif. Penelitian tersebut terbagi menjadi penelitian yang
menggunakan dosis rendah sampai sedang (furosemide 80-320 mg/24 jam) dan
penelitian yang menggunakan dosis tinggi (690-2000 mg/24 jam). Durasi infus
sangat bervariasi, sebagai berikut; 30 menit (Licata 2003),26 1 jam
(Bagatin 1993),27 4 jam (Pivac 1998),28 8 jam (Dorman
1996),29 24 jam (Kramer 1996,30 Aeser 199731)
dan 48 jam (Lahav 1992).32 Lama observasi selama infus juga
bervariasi dari 24 jam sampai 12 hari. Hal ini menunjukkan heterogenitas dari
sample penelitian. Namun demikian semua penelitian menunjukkan peningkatan
diuresis pada kelompok yang mendapat infus kontinyu dibandingkan dengan
kelompok yang mendapat bolus. Schuller dkk32 juga melaporkan lama perawatan
yang lebih singkat pada pasien yang mendapat loop diuretik secara infus
kontinyu.
Buruknya kualitas data yang ada membuat sulitnya
memberikan komentar mengenai perbedaan mortalitas dan membuat rekomendasi untuk
praktek klinik. Penelitian prospektif lanjut yang melibatkan populasi pasien
yang lebih besar dan masa follow up
yang lebih lama mungkin akan memberikan bukti yang lebih kuat di masa yang akan
datang yang dapat menjawab pertanyaan dengan lebih tepat mengenai masalah ini.
Trauma Kepala
Mannitol telah digunakan secara luas untuk mengatasi
peningkatan tekanan intrakranial (TIK) akibat trauma kepala. Sebuah survei pada
tahun 1995 mengenai penatalaksanaan perawatan kritis dari pasien dengan trauma
kepala di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 83% dari pusat pelayanan menggunakan
obat osmotik pada lebih dari separuh pasien dengan trauma kepala berat.33 Lebih
lanjut, survei di Inggris menunjukkan bahwa 100% dari pusat pelayanan bedah saraf menggunakan
mannitol untuk penanganan peningkatan tekanan intrakranial.34,35
Efektivitas mannitol pada pasien kritis telah dianggap merupakan sebuah
ketetapan yang kuat. Namun pada beberapa pasien lainnya hal ini merupakan suatu
ketidak pastian klinik yang besar, tidak hanya terhadap obat yang optimal
tetapi juga terhadap efektivitas mannitol dibandingkan dengan obat penurun TIK
lainnya dan terhadap kegunaan mannitol yang diberikan pada beberapa stadium
setelah trauma kepala.
Kolaborasi Cochrane telah melakukan review (tinjauan pustaka) sistematis pada percobaan klinik dengan randomisasi
dan menggunakan kontrol yang membandingkan beberapa obat mannitol yang berbeda
atau membandingkan mannitol dengan intervensi alternatif lainnya atau dengan
plasebo pada beberapa stadium dari penanganan akut trauma kepala (Nop 2002).
Pengobatan yang berpatokan pada tekanan intrakranial
memiliki manfaat yang lebih kecil terhadap mortalitas bila dibandingkan dengan
pengobatan yang berdasar pada tanda neurologis atau indikator fisiologis. Smith
dkk36 melaporkan resiko relatif kematian adalah 0.83 (95% CI 0.7,
1.46) dan untuk cacat berat adalah 0.88(95% CI 0.55, 1.38). Kerahasiaan dari
alokasi treatmen pada sampel dilakukan dengan penggunaan amplop yang disegel
yang cukup untuk mencegah pengetahuan mengenai treatmen yang diterima pasien
sehingga tidak memungkinkan terjadinya bias. Namun jumlah sample kecil. Perlu
juga dicatat bahwa penanganan yang berpatokan pada tekanan intrakranial,
protokol pemberian mannitol hanya dimulai jika tekanan intrakranial naik di
atas 25 mmHg dan oleh karena itu hasil ini tidak boleh digeneralisasikan untuk
protokol pemberian mannitol yang berpatokan pada tekanan intrakranial yang
memulai pemberian mannitol pada tekanan intrakranial yang lebih rendah.
Mannitol dosis tinggi nampaknya lebih disukai dari pada
mannitol dosis biasa untuk penanganan preoperatif pada pasien hematoma
intrakranial akut. Namun hanya ada sedikit bukti mengenai penggunaan mannitol sebagai
infus kontinyu pada pasien dengan tekanan intrakranial tinggi dan tidak
mempunyai hematoma intrakranial yang operabel. Cruz dkk37,38
melaporkan angka kematian yang rendah pada kelompok pasien dengan mannitol
dosis tinggi dengan resiko relatif kematian kumulatif sebanyak 0.55. Mereka
juga melaporkan bahwa proporsi pasien yang mati atau cacat berat setelah 6
bulan lebih rendah pada kelompok mannitol dosis tinggi (RR 0.58). Meskipun
kedua hasil penelitian tersebut menunjukkan angka mortalitas dan morbiditas
yang lebih rendah pada kelompok mannitol dosis tinggi, keduanya tidak
menjelaskan ada tidaknya randomisasi alokasi jenis perlakuan sehingga
kemungkinan terjadinya bias seleksi menjadi pertanyaan.
Tidak ada penelitian yang membandingkan mannitol dengan obat
penurun TIK lainnya selain penelitian oleh Schwartz dkk39 yang
membandingkan penobarbiton dan mannitol pada pasien dengan tekanan intrakranial
tinggi. Sayangnya penelitian ini menghasilkan penilaian efek yang tidak tepat
dan perbandingan tidak dapat dilakukan dengan tepat.
Waktu pemberian selanjutnya diteliti oleh Sayre dkk.40
Mereka membandingkan pemberian
mannitol dan plasebo sebelum masuk rumah sakit pada pasien dengan trauma kepala
sedang dan berat. Penelitian ini dengan randomisasi dan kerahasiaan alokasi perlakuan
dengan pemberian larutan tanpa label yang dibuat oleh apotik. Menariknya,
karena penelitian ini menunjukkan mortalitas yang tinggi pada pasien yang
mendapat mannitol (RR=1.75). Namun hasil ini tidak akurat karena jumlah sampel
yang kecil, dan mungkin saja bahwa hasil yang sebenarnya adalah tidak ada
perbedaan, atau bahkan ada efek manfaat dari mannitol.
Nampaknya ada begitu banyak pertanyaan yang tidak
terjawab mengenai penggunaan optimal dari mannitol pada trauma kepala akut.
Penggunaan mannitol yang luas, dan ketidakjelasan mengenai pemberian yang
optimal memberikan kesempatan yang baik untuk melakukan penelitian lanjut
dengan randomisasi dan menggunakan kontrol.
Bayi Prematur Dengan Sindrom Distres Pernapasan
Pada bayi prematur dengan RDS penurunan volume gas total
lebih banyak sebagai akibat dari udem alveoler dari pada akibat atelektasis.41
Mula-mula udem terjadi pada umumnya sebagai akibat dari pembersihan (klirens) yang
tidak adekuat dari cairan paru fetus dan pada 3 jam setelah lahir umumnya akibat
udem alveoler proteinaseus. Empat faktor yang yang berperan dalam hal ini
termasuk tekanan osmotik koloid yang rendah; peninggian tekanan transmural
mikrovaskuler akibat tekanan permukaan yang tinggi; permeabilitas membran
hialin yang tinggi; dan penurunan drainase limfe dari paru.42,43 Menariknya,
bayi dengan RDS sering mengalami fase oliguria, yang diikuti dengan fase
diuretik spontan yang biasanya terjadi 24-72 jam yang cenderung mendahului
perbaikan penyakit paru. Hal ini mengarahkan pada hipotesa bahwa penurunan
volume ekstraseluler akibat diuresis memperbaiki udem paru interstisial dan
beratnya penyakit paru.44,45,46,47
Diuretik dapat mempercepat absorpsi cairan paru dan
memperbaiki mekanika paru pada bayi ini. Dua mekanisme yang berperan adalah
reabsorpsi cairan paru yang tidak bergantung pada diuresis yang terjadi segera
dan akibat sekunder dari venodilatasi sistemik dan pulmonal,48 dan
juga peningkatan output urin yang
lambat yang menurunkan volume ekstraseluler.49
Review (tinjauan pustaka) Cochrane yang baru, menilai resiko
dan manfaat pemberian diuretik loop pada bayi prematur dengan penyakit paru kronis.
Mereka menyimpulkan bahwa pada bayi prematur umur kurang dari 3 minggu,
pemberian furosemid memiliki efek yang tidak konsisten atau tidak ditemukan
efek sama sekali. Namun pada bayi prematur umur lebih dari 3 minggu, furosemid
dosis tunggal intravena 1 mg/kg memperbaiki komplians (elastisitas) paru dan
resistensi saluran napas selama satu jam. Pemberian jangka panjang memperbaiki
oksigenasi dan komplians (elastisitas) paru.
Umumnya penelitian ini memfokuskan pada parameter
patofisiologi dan tidak meneliti efek pada beberapa outcome klinis yang penting atau komplikasi potensial dari terapi
diuretik. Penelitian lanjut dengan randomisasi dibutuhkan untuk menilai efek
furosemid pada survival (kelangsungan hidup), lamanya bantuan ventilasi dan
pemberian oksigen, lama perawatan, komplikasi potensial dan jangka panjang.
Karena kurangnya data, pemberian diuretik rutin pada kelompok pasien ini tidak
dapat direkomendasikan berdasarkan bukti yang ada sekarang ini.
Daftar Pustaka
2.
Hou SH, Bushinsky DA, Wish JB,
Cohen JJ, Harrington JT. Hospital-acquired renal insufficiency: a prospective
study. Am J Med 1983; 74:
243-8.
3.
Shusterman N, Strom BL, Murray
TG, Morrison G, West SL, Maislin G. Risk factors and outcome of
hospital-acquired acute renal failure. Clinical epidemiologic study. Am J
Med 1987; 83: 65-71.
4.
Better OS, Rubinstein I,
Winaver JM, Knochel JP. Mannitol therapy revisited. Kidney International
1997; 52: 886-894
5.
Brezis M, Rosen S. Hypoxia of
the renal medulla - its implications for disease. N Eng J Med 1995; 332:
647-655.
6.
Brezis M, Agmon Y, Epstein FH.
Determinants of intrarenal oxygenation, I: effects of diuretics. Am J
Physiol 1994; 267(6 Pt 2): F1029-F1062.
7.
Majumdar S, Kjellstrand CM. Why
do we use diuretics in acute renal failure? Semin Dial 1996; 9: 454-459.
8.
Kellum JA. Diuretics in acute
renal failure: protective or deleterious? Blood Purif 1997; 15:319-322.
9.
Mehta RL, Pascual MT ,
Soroko S, Glenn M, Chertow; for the PICARD Study Group. Diuretics, Mortality,
and non recovery of renal function in acute renal failure. JAMA 2002;
208: 2547-2553.
10.
Douma CE, Redekop WK, van der
Meulen JH. Predicting mortality in intensive care patients with acute renal
failure treated with dialysis. J Am Soc Nephrol 1997; 8: 111-117.
11.
Brown CD, Ogg CS, Cameron JS.
High dose frusemide in acute renal failure: a controlled trial. Clin Nephrol
1981; 15: 90-96.
12.
Kleinknecht D, Ganeval D,
Gonzalez-Duque LA, Fermaniau J. Frusemide in acute oliguric renal failure: a
controlled trial. Nephron 1976; 17:
51 -58.
13.
Shilliday IR, Quinn KJ, Allison
ME. Loop diuretics in the management of acute
renal failure: a prospective,double blind, placebo controlled, randomised
study. Nephrol Dial Transplant 1997; 12 : 2592-2596.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar