Apa itu adiksi ?? Adiksi berasal dari kata addictere (bahasa
Latin). Itu mengacu kepada hukum yang berlaku di Kerajaan Romawi atas seseorang
yang sebelumnya bebas lalu ditangkap untuk kemudian dijadikan budak. Adiksi sendiri dalam pemakaian bahasa
sehari-hari berarti suatu keterikatan atau suatu dorongan untuk mengulang-ulang
penggunaan zat tertentu atau perilaku tertentu. Jadi adiksi sebenarnya tidak
terbatas hanya pada penyalahgunaan narkoba saja, tetapi ada begitu banyak adiksi
yang lain, misalnya adiksi terhadap judi, pekerjaan, seks, dan juga games.
Di Amerika Serikat sudah sejak abad ke-18
terjadi pertentangan mengenai penyebab dari adiksi tersebut. Pandangan pertama
mengacu pada pendapat Benjamin Rush (1745-1813), seorang dokter yang bertugas
pada saat perang sipil yang merupakan salah seorang penanda tangan Declaration
of Independence. Dia mengatakan, “Adiksi adalah suatu keadaan
ketika seseorang tidak mampu untuk mengendalikan kehendaknya.” Dengan kata lain
ini merupakan suatu keadaan yang tidak normal atau suatu penyakit yang lebih
membutuhkan penanganan secara medis ketimbang penanganan cara lain. Pandangan
kedua mengacu kepada pendapat seorang pengkhotbah terkenal, yaitu Jonathan
Edwards, yang pada 1754 memublikasikan Freedom of the Will: “A man never, in any
instance, wills any thing contrary to his desires, or desires any thing contrary
to his will. His will and desire do not run counter at all ; the thing which he
wills, the very same he desires” (Hasrat seseorang tidak mungkin bertentangan
dengan hal-hal yang akan dilakukannya, atau hal-hal yang dilakukan seseorang
tidak mungkin bertentangan dengan hasratnya). Jadi menurut Edwards, jika seorang minum
alkohol (zat adiktif), itu merupakan suatu objek yang cocok dengan hasil dari
kehendaknya (hasratnya) dan hal tersebut merupakan suatu tindakan yang secara
sukarela dilakukannya. Atau dengan kata lain penggunaan zat adiktif (adiksi)
merupakan suatu pilihan yang secara sadar ditentukan berdasarkan hasrat
seseorang.
Kedua pandangan itu terus berkembang menjadi
berbagai teori tentang penyebab/pencetus adiksi. Dalam buku Raising Drug Free
Children dapat dibaca beberapa teori tentang terjadinya adiksi. Misalnya, teori universal yang ditemukan Weil
dan Rosen (1993) mengatakan, “Kebutuhan untuk mencari pengalaman yang membawa
kenikmatan repetisi periodik yang berasal dari satu jenis aktivitas telah
dimulai sejak dini dalam hidup seseorang.”
Teori-teori lain yang dituliskan dalam buku
tersebut antara lain teori tentang faktor genetis, teori tentang faktor
psikososial, dan mungkin jika digali lagi dari berbagai buku, akan ditemukan
banyak lagi teori-teori lain mengenai adiksi.
Jangan-jangan semua teori tersebut
mengandung kebenaran dan terjadinya adiksi disebabkan gabungan teori tersebut.
Jangan-jangan hal itu yang semakin menyulitkan seorang pecandu untuk pulih dari
kecanduannya?
Bagaimana Adiksi Bekerja
Jika pembaca peduli dan mempunyai minat untuk
menolong pecandu, ada baiknya selain mengerti teori-teori tentang adiksi juga
mengerti dan memahami apa yang terjadi dalam pikiran pecandu. Beberapa hal yang
dapat menolong kita adalah bahwa ada paling sedikit tiga tingkatan untuk menjadi
pecandu: Pertama , tingkat coba-coba, kedua tiingkat pengguna
tetap dan ketiga tingkat kecanduan.
Ciri-ciri itu
paling banyak dapat dilihat melalui perilaku. Jadi sangat penting agar kita lebih
peka melihat perubahan-perubahan perilaku, khususnya pada remaja.
Akan sangat bijaksana jika terjadi perubahan
perilaku jangan langsung diidentikkan dengan perilaku adiksi. Dibutuhkan suatu
hubungan komunikasi yang baik antara orang tua dan anak-anak dan sebaliknya.
Untuk menentukan seorang itu pecandu atau bukan, diperlukan bantuan
tenaga-tenaga yang telah berpengalaman di bidang adiksi misalnya dokter,
psikolog, konselor adiksi, pekerja sosial, atau rohaniwan.
Hal kedua dalam mengenal perilaku adiksi adalah
apa yang disebut sebagai mekanisme pertahanan mental (mental defense mechanism).
Mekanisme itu merupakan suatu hal yang secara normal ada pada manusia dan
merupakan suatu ciri-ciri yang universal ada pada pikiran manusia. Aktifnya
mekanisme itu bisa secara sadar, setengah sadar atau tanpa disadari, yang
bertujuan melindungi ‘ego’ seseorang, perasaan, keadaan, atau fakta yang tidak
menyenangkan.
Pada tulisan ini saya mengajukan tiga mekanisme
pertahanan mental yang biasanya muncul pada diri pecandu.
Pertama, penyangkalan. Biasanya dalam
diri manusia sering timbul penyangkalan-penyangkalan terhadap suatu keadaan atau
fakta yang menimbulkan ketidaknyamanan. Pada pecandu ‘denial’ timbul karena dia
tidak mau melepaskan zat ‘kesayangannya’ atau penyangkalan terhadap perilaku
adiksinya.
Kedua, Rasionalisasi, kalimat yang
biasa keluar dari mulut pecandu ialah “Nggak separah itu kok” atau “Saya akan
segera berhenti, kan saya sudah ke dokter ahli itu.” Kalimat-kalimat tersebut
merupakan tanda dari aktifnya mekanisme rasionalisasi tersebut.
Ketiga, Proyeksi, mekanisme yang
paling sulit untuk dikenali, terutama bagi para pendamping atau konselor yang
belum berpengalaman dalam mengenal perilaku adiksi. Biasanya kalimat yang muncul
adalah “Ini gara-gara hal itu sih maka gue pake narkoba” atau “Daripada gue
dicurigain terus, sekalian aja gue pake.” Jadi proyeksi adalah suatu mekanisme
yang biasa digunakan para pecandu untuk ‘menggeser’ persoalan atau ‘memindahkan’
kesalahan ke arah lain atau ke orang lain.
Harap diingat bahwa setiap orang mempunyai
mekanisme pertahanan mental masing-masing, tetapi pada orang-orang yang tidak
mempunyai perilaku adiksi, penggunaan mekanisme pertahanan mental itu masih
dalam batas normal, sementara penggunaannya pada pecandu menyulitkan proses
pulih dari adiksinya. Para penolong juga akan berhadapan dengan keluarga
pecandu, yang biasanya sudah berperilaku sama dengan pecandu, biasa disebut
sebagai co-dependency. Perbedaannya keluarga tidak menggunakan atau melakukan
hal-hal yang dilakukan si pecandu.
Jalan Terakhir Sembuh
Hal lain yang harus diketahui adalah bahwa
proses pulih, bukan suatu proses yang mudah dan sederhana.Paling tidak
dibutuhkan suatu keteguhan dan kesabaran dari semua pihak yang berhubungan
langsung dengan pecandu.
Biasanya pecandu
sukar membuat keputusan untuk mulai mencari pertolongan dan di dalam
dinamika kecanduan ada istilah yang disebut sebagai rock bottom. Rock bottom
adalah suatu keadaan ketika dalam diri pecandu muncul kesadaran untuk segera
mencari pertolongan. Ada beberapa faktor yang dapat menimbulkan keadaan
tersebut.
Pertama; Faktor fisik, pecandu
terkena penyakit tertentu atau pernah mengalami overdosis.
Kedua; Faktor ekonomi, pecandu
menjadi sadar karena uang dan barang sudah habis.
Ketiga; Faktor psikologis,
pecandu merasa tertekan atau depresi mengingat perilaku
adiksinya.
Keempat; Faktor sosiologis,
pecandu menjadi sadar, karena hampir tidak mempunyai kehidupan sosial yang
normal lagi. Teman tidak ada, keluarga menjauh, dan lain sebagainya.
Kelima; Faktor spiritual,
pecandu merasa berdosa karena telah melakukan hal-hal yang dilarang agama.
Kepribadian pecandu narkoba bisa saja timbul
karena ada dua faktor atau lebih yang terjadi bersamaan atau berurutan. Tetapi
penting diingat bahwa setiap pecandu mempunyai kepribadian masing-masing. Jadi
adanya kepribadian ini merupakan hal yang sangat personal dan tidak dapat
dikondisikan atau direkayasa.
Apabila Pecandu Ingin
Pulih.
Pertama, tahap rehabilitasi
medis; Pada tahap ini, seluruh kesehatan fisik dan mental diperiksa dan dokter
yang telah terlatihlah yang memutuskan apakah perlu mendapat obat tertentu,
misalnya untuk mengurangi gejala putus zat (sakau).
Kedua, tahap rehabilitasi
nonmedis; Pada tahap ini pecandu ikut dalam program rehabilitasi. Di Indonesia
sudah ada tempat-tempat rehabilitasi nonmedis dengan program therapeutic
communities (TC); 12 steps; pendekatan keagamaan, dan lain-lain.
Ketiga, tahap bina lanjut
(after care); Pada tahap ini pecandu diberi kegiatan sesuai dengan minat dan
bakatnya untuk mengisi aktivitasnya sehari-hari. Dapat juga membawa pecandu
kembali ke sekolah atau ke tempat kerjanya, tetapi tetap berada dalam
pengawasan.
Pada setiap tahap idealnya dilakukan pengawasan
secara terusmenerus dan secara berkala diadakan evaluasi terhadap proses
pulihnya seorang pecandu. Pada tahap rehabilitasi nonmedis, pecandu dianjurkan
untuk mengikuti program yang sesuai dengan hasil evaluasinya, apakah dengan
metode TC, atau 12 steps, atau pendekatan keagamaan atau memang sudah
memungkinkan untuk rawat jalan. Dalam penelitian yang dilakukan di Amerika,
proses rawat inap dianjurkan tidak lebih dari empat minggu dan menurut Mrc A
Schuckit, MD, program grup terapi merupakan program yang biayanya lebih murah
daripada konseling pribadi.
Dalam dinamika adiksi atau ketika menolong
pecandu, sering kali dihindari penggunaan kata sembuh karena pada pecandu sering
terjadi relapse (kambuh) sehingga istilah yang digunakan ialah ‘pulih’ atau
recovery. Istilah yang digunakan untuk adiksi ialah chronic relapsing disease
(penyakit menahun yang sering kambuh).
Secara universal ada dua hal yang menjadi
faktor penghambat dalam proses pulihnya pecandu. Ketidaktahuan akan dinamika
kecanduan dan Aktifnya mekanisme pertahanan mental pada diri pecandu dan/atau
keluarganya.
Hal lain yang juga menjadi kendala ialah jumlah
sumber daya manusia (dokter, psikolog konselor, rohaniwan, dan pekerja sosial)
dan sarana yang menangani masalah adiksi dirasakan masih sangat kurang.
The Internet Journal
of Emergency & Intensive Care Medicine. 2005. Volume 8 Number 2.
Peranan Diuretik Pada Unit Perawatan Intensif: Review
(Tinjauan pustaka)
Amyn Haji, MA MBBChir MRCS, Specialist registrar General Surgery, William
Harvey Hospital, East Kent NHS Trust, Kent UK
Daftar Isi
Abstrak
Gagal ginjal akut
Gagal jantung kongestif
Trauma kepala
Bayi prematur dengan sindrom distres pernapasan
Daftar Pustaka
Abstrak
Diuretik merupakan obat yang menyebabkan hilangnya
natrium dan air dari dalam tubuh melalui kerja pada ginjal. Efek utamanya
adalah menurunkan reabsorpsi natrium dan klorida pada filtrasi, peningkatan
pengeluaran air sebagai akibat sekunder dari peningkatan ekskresi garam. Ada
beberapa macam jenis diuretik yang sangat berbeda dalam derivat kimia,
efektivitas, tempat bekerja, dan mekanisme kerjanya atau farmakologi dan
farmakodinamiknya. Efektivitas pemakaian diuretik membutuhkan pengetahuan
tentang obat diuretik tersebut serta pemahaman mengenai patofisiologi penyakit
pasien. Diuretik mempunyai banyak kegunaan dalam klinik termasuk pada udem,
hipertensi, penanganan hiperkalsemia dengan loop diuretik, pengobatan diabetes
insipidus atau hiperkalsiuria dengan diuretik thiazid, penanganan glaukoma
dengan inhibitor karbonik anhidrase, dan pada penanganan udem serebral dengan
obat osmotik.
Pemakaian diuretik pada kondisi perawatan akut merupakan
topik penting pada penelitian klinik dan laboratorium. Diuretik merupakan salah
satu obat yang sering digunakan pada unit perawatan intensif dan balans cairan
mendapat perhatian yang banyak bagi dokter yang bekerja pada unit perawatan
intensif dan ahli anesthesi.
Tujuan Penulis adalah untuk melakukan review (tinjauan pustaka) sistematik
pada literatur yang membahas penggunaan diuretik pada pasien penyakit kritis di
unit perawatan intensif. Kami mencari literatur pada MEDLINE (1974-2004) dan Cochrane Controlled Trials Register (CCTR)
untuk penelitian dengan randomisasi dan menggunakan kontrol, untuk mereview
(meninjau) resiko dan manfaat diuretik pada 4 kelompok pasien. Kelompok ini
adalah pasien dengan gagal ginjal akut, gagal jantung kongestif, trauma kepala
berat, dan juga bayi prematur dengan sindrom distres pernapasan.
Gagal Ginjal Akut.
Gagal ginjal akut merupakan masalah signifikan dan
persisten dengan komplikasi serius pada pasien penyakit kritis dan merupakan
masalah pada unit perawatan intensif (ICU) yang paling sering membutuhkan
konsultasi nefrologi. Laporan prevalensinya antara 3% dan 30% bergantung pada
definisi GGA dan kombinasi kasus dari populasi pasien yang diteliti.1
Prognosisnya buruk terutama pada pasien ICU dan pada pasien di mana GGA
merupakan bagian dari sindrom disfungsi organ multipel. Misalnya, mortalitas
(kematian) pada pasien ini dilaporkan 45% pada pasien GGA nonseptik dan 75%
pada pasien dengan GGA septik.2,3
Ada beberapa argumentasi teoritis yang mendukung penggunaan
mannitol dan loop diuretik untuk pencegahan atau penanganan gagal ginjal akut. Kedua
obat ini dapat menginduksi diuresis, berpotensi mengeluarkan sumbatan debris
dan bekuan. Mannitol dapat mempertahankan fungsi mitokondria yaitu secara
osmotik meminimalkan udem post-iskemik dan menetralkan radikal bebas.4 Loop
diuretik telah dilaporkan memperbaiki oksigenasi medula, kemungkinan karena
obat ini menurunkan penggunaan oksigen secara selektif pada bagian dari tubula
ini dengan menghambat transport aktif.5,6 Akibat penurunan kebutuhan energi ini dapat
melindungi sel ginjal pada kondisi iskemik. Di samping itu, loop diuretik dapat
berfungsi sebagai vasodilator ginjal.7,8 Meskipun mekanisme di atas
telah dikemukakan, tapi masih belum jelas bagaimana hubungan teori ini dengan
patofisiologi yang sebenarnya pada pasien perorangan.
Beberapa penelitian klinis telah meneliti penggunaan loop
diuretik pada pasien GGA. Mehta dkk9 menganalisa pengeluarandari
pasien ICU dengan GGA yang menerima konsultasi nefrologi pada empat rumah sakit
pendidikan selama 6 tahun. Pasien yang mendapat loop diuretik atau kombinasi
thiazid dan loop diuretik pada saat konsultasi nefrologi dibandingkan dengan
kelompok pasien yang sama tetapi tidak mendapatkan diuretik. Penggunaan
diuretik menyebabkan peningkatan mortalitas di rumah sakit sebanyak 68%, dan
peningkatan 77% dari rasio kematian atau kegagalan pemulihan fungsi ginjal.
Risiko yang tinggi terutama terlihat pada pasien yang relatif tidak responsif
terhadap diuretik. Ini adalah satu-satunya penelitian yang menyatakan
penggunaan diuretik berbahaya pada pasien namun mungkin juga bahwa diuretik ini
lebih sering dipakai pada pasien yang memang kondisi sudah lebih buruk. Efek
negatif dari diuretik yang dilaporkan Mehta dkk, mungkin juga disebabkan karena
diuretik mengubah oliguria menjadi non oliguria dan karenanya telah
memperlambat diagnosa adanya GGA atau tidak menggangapnya parah. Hal ini mungkin
telah memperlambat untuk memperoleh konsultasi dari ahli ginjal atau untuk
memulai dialisis ginjal. Namun perlu juga dicatat bahwa 12% dari pasien, diuretik
hanya diresepkan setelah konsultasi nefrologi.
Pada penelitian Mehta9, juga mengejutkan bahwa
hasil yang buruk lebih sering pada pasien yang tidak respon terhadap pemberian
diuretik. Nampaknya bahwa dokter di perawatan intensif akan menghubungi ahli
ginjal lebih awal pada pasien yang tetap oliguria setelah pemberian diuretik,
sehingga dialisis akan dimulai lebih awal pada pasien oliguria. Makalah
tersebut tidak memberikan informasi lanjut mengenai penyebab kematian, interval
waktu sampai dialisis dimulai, atau jenis dialisis, sehingga kemungkinan
mortalitas yang lebih tinggi tidak berhubungan dengan penggunaan diuretik tapi
mungkin berhubungan dengan terapi dialisis.
Selain itu, juga terdapat variasi yang besar dari
parameter fisiologi hidrasi pada pasien penelitian ini, yang menunjukkan bahwa
banyak pasien tidak dalam hidrasi yang adekuat, meskipun mendapatkan diuretik.
Di samping itu konsultasi nefrologi juga lambat diminta pada saat kreatinin
serum rata-rata 3.6 mg/dl (318umol/l) pada pasien yang mendapat diuretik dan 4
mg/dl(354umol/l) pada pasien yang tidak mendapatkan diuretik. Usia rata-rata dan
prevalensi gagal jantung kongestif dan gagal napas juga tinggi pada pasien yang
menerima diuretik. Hal ini menunjukkan bahwa pasien ini mungkin mempunyai
penyakit yang lebih berat dibandingkan dengan kelompok kontrol, tetapi kedua
kelompok tersebut mempunyai skor evaluasi fisiologi akut dan kesehatan kronik
(Acute Physiology and Chronic Health Evaluation, APACHE) II dan III yang sama.
Namun sistem skoring seperti ini tidak terlalu tepat untuk pasien ICU dengan
GGA.10
Ada beberapa penelitian sebelumnya yang menyebutkan
keterbatasan diuretik untuk pencegahan dan penanganan pasien GGA, namun sampai
sekarang tidak ada penelitian yang melaporkan bahwa diuretik berhubungan dengan
resiko kematian yang tinggi dan kegagalan pemulihan fungsi ginjal pada pasien kritis
seperti yang dilaporkan oleh Mehta dkk.
Dua penelitian dengan randomisasi dan menggunakan kontrol
selanjutnya, melibatkan 66 dan 58 pasien dengan nekrosis tubular akut, telah
meneliti penggunaan loop diuretik pada pasien GGA. Penelitian ini menunjukkan
bahwa furosemid dosis tinggi dapat menginduksi pengeluaran urin yang tinggi,
mengubah gagal ginjal oliguria menjadi gagal ginjal non oliguria, namun hal ini
tidak berhasil menurunkan kebutuhan untuk dialisis dan tidak menurunkan
mortalitas.11,12 Meskipun diuretik dosis tinggi tidak mempengaruhi
prognosis pasien GGA,13,14,15 konversi dari GGA oliguria menjadi GGA
non oliguria mempermudah perawatan pasien. Jika diuresis terjadi, hal ini akan
menjadikan asupan cairan lebih bebas dan mempermudah pemberian nutrisi enteral
dan parenteral. Diuresis ini juga memberikan informasi prognostik bahwa pasien
mempunyai GGA yang tidak begitu berat.
Lebih lanjut, Lassnigg dkk16 juga melaporkan
bahwa infus furosemid kontinyu berakibat negatif pada proteksi disfungsi ginjal
setelah operasi jantung dan berhubungan dengan tingginya angka kerusakan
ginjal. Nampaknya bahwa di laboratorium, loop diuretik seperti furosemid dapat
memudahkan agregasi protein Tamm-Horsfall pada lumen tubulus, mekanisme yang
diduga menyebabkan obstruksi intratubular dan berperan pada kerusakan ginjal.17
Terlepas dari
keterbatasan semua penelitian ini, penelitian oleh Mehta dkk, terutama penting
secara klinis karena pemberian diuretik pada pasien oliguria masih sering
dilakukan. Sepertinya, bahwa sampai kita mendapatkan data dari penelitian
klinis yang berkualitas dan akurat yang dapat menjawab apakah loop diuretik
membahayakan pasien penyakit kritis dengan GGA, praktek pemberian rutin obat
ini harus dihentikan dan kita harus berpikir dua kali sebelum meresepkan loop
diuretik di ICU. Penelitian dengan loop diuretik harus dilakukan setelah
koreksi yang teliti terhadap status volume (cairan), waktunya harus dibatasi,
dan tidak seharusnya menunda konsultasi dengan ahli ginjal atau dokter ICU yang
berpengalaman dengan GGA. Kita harus menyadari bahwa keberhasilan mengkonversi
oliguria menjadi diuresis hanya merupakan tanda dari adanya GGA yang lebih
ringan dan tidak memiliki efek prognostik serta tidak berarti boleh menunda
dialisis jika memang diperlukan.18
Gagal Jantung Kongestif
Gagal jantung kongestif merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia.19 Diuretik dianggap
sebagai penanganan garis pertama pada pasien gagal jantung kongestif, tanpa
memandang etiologi, umur, jenis kelamin, dan karakteristik individual dari
pasien karena obat ini memberikan perbaikan simptomatik.20,21,22
Penurunan kongesti dan udem paru menghilangkan gejala sesak napas, dan akibat
penurunan udem perifer, distensi hepar, dan udem intestinal akan memperbaiki
keadaan umum pasien.23,24 Obat ini memberikan perbaikan simptomatik
lebih cepat dari obat lain apa pun untuk gagal jantung karena obat ini menghilangkan
udem perifer dalam beberapa jam atau hari saja, sedangkan efek klinis dari
digitalis, inhibitor enzim angiotensin converting atau beta blocker mungkin
butuh waktu beberapa minggu atau bulan baru nampak. Meskipun penggunaan
diuretik telah diterima secara luas di klinis, namun ada ketidakpastian mengenai
efektivitas terapeutik yang tepat karena tidak ada penelitian yang berskala
besar mengenai efeknya pada kemajuan penyakit dan survival (kelangsungan
hidup). Ini sebagian mungkin disebabkan oleh kenyataan bahwa diuretik telah
menjadi standar pengobatan pasien gagal jantung, terutama dengan gejala
kongesti. Ini adalah alasan utama sulitnya melakukan penelitian randomisasi,
meskipun bukti manfaat pada mortalitas sangat jarang.
Perhatian untuk melakukan penelitian klinis yang menggunakan
loop diuretik dan thiazid terutama distimulasi sejak publikasi penelitian RALES
pada tahun 1999 yang meneliti peranan antagonis aldosteron.25
Meskipun aldosteron bukan merupakan diuretik yang biasa digunakan, ini
menimbulkan pertanyaan di benak kita mengenai bukti formal untuk loop diuretik
dan thiazid. Kolaborasi Cochrane sedang meneliti hal ini dan telah menerbitkan
protokol lebih awal di tahun 2004 dan kita menunggu hasil mereka dengan
pengharapan.
Ada beberapa penelitian yang berskala lebih kecil yang
membandingkan infus kontinyu loop diuretik dengan bolus intermiten pada pasien
gagal jantung kongestif. Penelitian tersebut terbagi menjadi penelitian yang
menggunakan dosis rendah sampai sedang (furosemide 80-320 mg/24 jam) dan
penelitian yang menggunakan dosis tinggi (690-2000 mg/24 jam). Durasi infus
sangat bervariasi, sebagai berikut; 30 menit (Licata 2003),26 1 jam
(Bagatin 1993),27 4 jam (Pivac 1998),28 8 jam (Dorman
1996),29 24 jam (Kramer 1996,30 Aeser 199731)
dan 48 jam (Lahav 1992).32 Lama observasi selama infus juga
bervariasi dari 24 jam sampai 12 hari. Hal ini menunjukkan heterogenitas dari
sample penelitian. Namun demikian semua penelitian menunjukkan peningkatan
diuresis pada kelompok yang mendapat infus kontinyu dibandingkan dengan
kelompok yang mendapat bolus. Schuller dkk32 juga melaporkan lama perawatan
yang lebih singkat pada pasien yang mendapat loop diuretik secara infus
kontinyu.
Buruknya kualitas data yang ada membuat sulitnya
memberikan komentar mengenai perbedaan mortalitas dan membuat rekomendasi untuk
praktek klinik. Penelitian prospektif lanjut yang melibatkan populasi pasien
yang lebih besar dan masa follow up
yang lebih lama mungkin akan memberikan bukti yang lebih kuat di masa yang akan
datang yang dapat menjawab pertanyaan dengan lebih tepat mengenai masalah ini.
Trauma Kepala
Mannitol telah digunakan secara luas untuk mengatasi
peningkatan tekanan intrakranial (TIK) akibat trauma kepala. Sebuah survei pada
tahun 1995 mengenai penatalaksanaan perawatan kritis dari pasien dengan trauma
kepala di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 83% dari pusat pelayanan menggunakan
obat osmotik pada lebih dari separuh pasien dengan trauma kepala berat.33 Lebih
lanjut, survei di Inggris menunjukkan bahwa 100% dari pusat pelayanan bedah saraf menggunakan
mannitol untuk penanganan peningkatan tekanan intrakranial.34,35
Efektivitas mannitol pada pasien kritis telah dianggap merupakan sebuah
ketetapan yang kuat. Namun pada beberapa pasien lainnya hal ini merupakan suatu
ketidak pastian klinik yang besar, tidak hanya terhadap obat yang optimal
tetapi juga terhadap efektivitas mannitol dibandingkan dengan obat penurun TIK
lainnya dan terhadap kegunaan mannitol yang diberikan pada beberapa stadium
setelah trauma kepala.
Kolaborasi Cochrane telah melakukan review (tinjauan pustaka) sistematis pada percobaan klinik dengan randomisasi
dan menggunakan kontrol yang membandingkan beberapa obat mannitol yang berbeda
atau membandingkan mannitol dengan intervensi alternatif lainnya atau dengan
plasebo pada beberapa stadium dari penanganan akut trauma kepala (Nop 2002).
Pengobatan yang berpatokan pada tekanan intrakranial
memiliki manfaat yang lebih kecil terhadap mortalitas bila dibandingkan dengan
pengobatan yang berdasar pada tanda neurologis atau indikator fisiologis. Smith
dkk36 melaporkan resiko relatif kematian adalah 0.83 (95% CI 0.7,
1.46) dan untuk cacat berat adalah 0.88(95% CI 0.55, 1.38). Kerahasiaan dari
alokasi treatmen pada sampel dilakukan dengan penggunaan amplop yang disegel
yang cukup untuk mencegah pengetahuan mengenai treatmen yang diterima pasien
sehingga tidak memungkinkan terjadinya bias. Namun jumlah sample kecil. Perlu
juga dicatat bahwa penanganan yang berpatokan pada tekanan intrakranial,
protokol pemberian mannitol hanya dimulai jika tekanan intrakranial naik di
atas 25 mmHg dan oleh karena itu hasil ini tidak boleh digeneralisasikan untuk
protokol pemberian mannitol yang berpatokan pada tekanan intrakranial yang
memulai pemberian mannitol pada tekanan intrakranial yang lebih rendah.
Mannitol dosis tinggi nampaknya lebih disukai dari pada
mannitol dosis biasa untuk penanganan preoperatif pada pasien hematoma
intrakranial akut. Namun hanya ada sedikit bukti mengenai penggunaan mannitol sebagai
infus kontinyu pada pasien dengan tekanan intrakranial tinggi dan tidak
mempunyai hematoma intrakranial yang operabel. Cruz dkk37,38
melaporkan angka kematian yang rendah pada kelompok pasien dengan mannitol
dosis tinggi dengan resiko relatif kematian kumulatif sebanyak 0.55. Mereka
juga melaporkan bahwa proporsi pasien yang mati atau cacat berat setelah 6
bulan lebih rendah pada kelompok mannitol dosis tinggi (RR 0.58). Meskipun
kedua hasil penelitian tersebut menunjukkan angka mortalitas dan morbiditas
yang lebih rendah pada kelompok mannitol dosis tinggi, keduanya tidak
menjelaskan ada tidaknya randomisasi alokasi jenis perlakuan sehingga
kemungkinan terjadinya bias seleksi menjadi pertanyaan.
Tidak ada penelitian yang membandingkan mannitol dengan obat
penurun TIK lainnya selain penelitian oleh Schwartz dkk39 yang
membandingkan penobarbiton dan mannitol pada pasien dengan tekanan intrakranial
tinggi. Sayangnya penelitian ini menghasilkan penilaian efek yang tidak tepat
dan perbandingan tidak dapat dilakukan dengan tepat.
Waktu pemberian selanjutnya diteliti oleh Sayre dkk.40
Mereka membandingkan pemberian
mannitol dan plasebo sebelum masuk rumah sakit pada pasien dengan trauma kepala
sedang dan berat. Penelitian ini dengan randomisasi dan kerahasiaan alokasi perlakuan
dengan pemberian larutan tanpa label yang dibuat oleh apotik. Menariknya,
karena penelitian ini menunjukkan mortalitas yang tinggi pada pasien yang
mendapat mannitol (RR=1.75). Namun hasil ini tidak akurat karena jumlah sampel
yang kecil, dan mungkin saja bahwa hasil yang sebenarnya adalah tidak ada
perbedaan, atau bahkan ada efek manfaat dari mannitol.
Nampaknya ada begitu banyak pertanyaan yang tidak
terjawab mengenai penggunaan optimal dari mannitol pada trauma kepala akut.
Penggunaan mannitol yang luas, dan ketidakjelasan mengenai pemberian yang
optimal memberikan kesempatan yang baik untuk melakukan penelitian lanjut
dengan randomisasi dan menggunakan kontrol.
Bayi Prematur Dengan Sindrom Distres Pernapasan
Pada bayi prematur dengan RDS penurunan volume gas total
lebih banyak sebagai akibat dari udem alveoler dari pada akibat atelektasis.41
Mula-mula udem terjadi pada umumnya sebagai akibat dari pembersihan (klirens) yang
tidak adekuat dari cairan paru fetus dan pada 3 jam setelah lahir umumnya akibat
udem alveoler proteinaseus. Empat faktor yang yang berperan dalam hal ini
termasuk tekanan osmotik koloid yang rendah; peninggian tekanan transmural
mikrovaskuler akibat tekanan permukaan yang tinggi; permeabilitas membran
hialin yang tinggi; dan penurunan drainase limfe dari paru.42,43 Menariknya,
bayi dengan RDS sering mengalami fase oliguria, yang diikuti dengan fase
diuretik spontan yang biasanya terjadi 24-72 jam yang cenderung mendahului
perbaikan penyakit paru. Hal ini mengarahkan pada hipotesa bahwa penurunan
volume ekstraseluler akibat diuresis memperbaiki udem paru interstisial dan
beratnya penyakit paru.44,45,46,47
Diuretik dapat mempercepat absorpsi cairan paru dan
memperbaiki mekanika paru pada bayi ini. Dua mekanisme yang berperan adalah
reabsorpsi cairan paru yang tidak bergantung pada diuresis yang terjadi segera
dan akibat sekunder dari venodilatasi sistemik dan pulmonal,48 dan
juga peningkatan output urin yang
lambat yang menurunkan volume ekstraseluler.49
Review (tinjauan pustaka) Cochrane yang baru, menilai resiko
dan manfaat pemberian diuretik loop pada bayi prematur dengan penyakit paru kronis.
Mereka menyimpulkan bahwa pada bayi prematur umur kurang dari 3 minggu,
pemberian furosemid memiliki efek yang tidak konsisten atau tidak ditemukan
efek sama sekali. Namun pada bayi prematur umur lebih dari 3 minggu, furosemid
dosis tunggal intravena 1 mg/kg memperbaiki komplians (elastisitas) paru dan
resistensi saluran napas selama satu jam. Pemberian jangka panjang memperbaiki
oksigenasi dan komplians (elastisitas) paru.
Umumnya penelitian ini memfokuskan pada parameter
patofisiologi dan tidak meneliti efek pada beberapa outcome klinis yang penting atau komplikasi potensial dari terapi
diuretik. Penelitian lanjut dengan randomisasi dibutuhkan untuk menilai efek
furosemid pada survival (kelangsungan hidup), lamanya bantuan ventilasi dan
pemberian oksigen, lama perawatan, komplikasi potensial dan jangka panjang.
Karena kurangnya data, pemberian diuretik rutin pada kelompok pasien ini tidak
dapat direkomendasikan berdasarkan bukti yang ada sekarang ini.
Daftar Pustaka
1.Galley HF. Can acute renal failure
be prevented? J. R. Coll. Surg. Edinburgh; Feb 2000, 44-50
2.Hou SH, Bushinsky DA, Wish JB,
Cohen JJ, Harrington JT. Hospital-acquired renal insufficiency: a prospective
study. Am J Med 1983; 74:
243-8.
3.Shusterman N, Strom BL, Murray
TG, Morrison G, West SL, Maislin G. Risk factors and outcome of
hospital-acquired acute renal failure. Clinical epidemiologic study. Am J
Med 1987; 83: 65-71.
4.Better OS, Rubinstein I,
Winaver JM, Knochel JP. Mannitol therapy revisited. Kidney International
1997; 52: 886-894
5.Brezis M, Rosen S. Hypoxia of
the renal medulla - its implications for disease. N Eng J Med 1995; 332:
647-655.
6.Brezis M, Agmon Y, Epstein FH.
Determinants of intrarenal oxygenation, I: effects of diuretics. Am J
Physiol 1994; 267(6 Pt 2): F1029-F1062.
7.Majumdar S, Kjellstrand CM. Why
do we use diuretics in acute renal failure? Semin Dial 1996; 9: 454-459.
8.Kellum JA. Diuretics in acute
renal failure: protective or deleterious? Blood Purif 1997; 15:319-322.
9.Mehta RL, PascualMT,
Soroko S, Glenn M, Chertow; for the PICARD Study Group. Diuretics, Mortality,
and non recovery of renal function in acute renal failure. JAMA 2002;
208: 2547-2553.
10.Douma CE, Redekop WK, van der
Meulen JH. Predicting mortality in intensive care patients with acute renal
failure treated with dialysis. J Am Soc Nephrol 1997; 8: 111-117.
11.Brown CD, Ogg CS, Cameron JS.
High dose frusemide in acute renal failure: a controlled trial. Clin Nephrol
1981; 15: 90-96.
12.Kleinknecht D, Ganeval D,
Gonzalez-Duque LA, Fermaniau J. Frusemide in acute oliguric renal failure: a
controlled trial. Nephron 1976; 17:
51-58.
13.Shilliday IR, Quinn KJ, Allison
ME. Loop diuretics in the management of acute
renal failure: a prospective,double blind, placebo controlled, randomised
study. Nephrol Dial Transplant 1997; 12 : 2592-2596.
14.Dishart MK, Kellum JA. An
evaluation of pharmacological strategies for the prevention and treatment of
acute renal failure. Drugs 2000; 59: 79-91.
Malnutrisi
dapat terjadi oleh karena kekurangan gizi (undernutrisi) maupun karena
kelebihan gizi (overnutrisi). Keduanya disebabkan oleh
ketidakseimbangan antara kebutuhan tubuh dan asupan zat gizi esensial.
Perkembangan malnutrisi melalui 4 tahapan: (1,2)
Perubahan
kadar zat gizi dalam darah dan jaringan
Perubahan
kadar enzim
Kelainan
fungsi pada organ dan jaringan tubuh
Timbulnya
gejala-gejala penyakit dan kematian. (1,2)
Kebutuhan
tubuh akan zat gizi bertambah pada beberapa tahapan kehidupan tertentu,
yaitu:
·pada
masa bayi, awal masa kanak-kanak, remaja
·selama
kehamilan
·selama
menyusui. (1,2)
Kwashiorkor adalah suatu sindrom yang diakibatkan defisiensi
protein yang berat. Istilah ini pertama kali digunakan oleh Cecily Williams
bagi kondisi tersebut yang diderita oleh bayi dan anak balita. Nama ini
berasal dari daerah di Pantai Emas, Afrika yang berarti anak terlantar.
(3)
Defisiensi ini sangat parah, meskipun konsumsi energi atau
kalori tubuh mencukupi kebutuhan. Biasanya, kwashiorkor ini lebih banyak
menyerang bayi dan balita pada usia enam bulan sampai tiga tahun. Usia paling
rawan terkena defisiensi ini adalah dua tahun. (3)
Pada usia itu berlangsung masa peralihan dari ASI ke pengganti
ASI atau makanan sapihan. Pada umumnya, kandungan karbohidrat makanan
tersebut tinggi, tapi mutu dan kandungan proteinnya sangat rendah. (3)
Ciri-ciri anak menderita kwashiorkor adalah hambatan
pertumbuhan, perubahan pada pigmen rambut dan kulit, edema, dan perubahan
patologi pada hati. Hal ini terutama terlihat pada infiltrasi lemak,
nekrosis, dan fibrosis. Temuan lain adalah apati, cengeng, atrofi pankreas,
gangguan saluran cerna, anemia, kadar albumin serum yang rendah, dan
dermatosis.
Kulit penderita terlihat menjadi gelap. Pada ekstremitas dan
punggung, timbul bercak-bercak menebal yang dapat mengelupas. Kulit di
bawahnya berwarna merah muda yang hampir seperti pelagra. (3)
Soal terjadinya edema, biasanya diawali akibat turunnya kadar
albumin serum. Ini mengakibatkan turunnya tekanan osmotik daerah. Cairan
daerah akan menerobos pembuluh darah dan masuk ke dalam cairan tubuh.
Anak-anak yang mengalami hal ini biasanya kehilangan nafsu
makan, rewel, diare, dan sikap apatis. Biasanya pula, mereka menderita
infeksi lambung dan perubahan psikomotor. Wajahnya bengkak. Pada orang
dewasa, keadaan ini bisa terjadi, dan yang terparah adalah busung lapar. (3)
Kwashiorkor dianggap ada hubungannya dengan marasmus
marasmick. Ini adalah satu kondisi terjadinya defisiensi, baik kalori,
maupun protein. Cirinya adalah dengan penyusutan jaringan yang hebat,
hilangnya lemak subkutan, dan juga ditambah dehidrasi (3)
PENILAIAN STATUS GIZI
Untuk menilai status gizi seseorang, ditanyakan tentang makanan
dan masalah kesehatan, dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
laboratorium tertentu. Pada pemeriksaan darah dilakukan pengukuran kadar zat
gizi dan bahan-bahan yang tergantung kepada kadar zat gizi (misalnya
hemoglogbin, hormon tiroid dan transferin). (1,2)
Untuk menentukan riwayat makan seseorang, ditanyakan makanan apa
yang dimakan dalam 24 jam terakhir dan jenis makanan seperti apa yang
biasanya dimakan. Dibuat catatan tentang daftar makanan yang dimakan selama 3
hari.
Selama pemeriksaan fisik, diamati penampilan secara keseluruhan dan tingkah
lakunya, juga distribusi lemak tubuh serta fungsi organ tubuhnya. (1,2)
Kekurangan zat gizi dapat menyebabkan berbagai masalah
kesehatan. Misalnya, perdarahan lambung dapat menyebabkan anemia karena kekurangan
zat besi. Seseorang yang telah diobati dengan vitamin A dosis tinggi karena
berjerawat, bisa mengalami sakit kepala dan penglihatan ganda sebagai akibat
keracunan vitamin A.
Berbagai sistem tubuh bisa dipengaruhi oleh kelainan gizi:
Sistem saraf
bisa terkena oleh kekurangan niasin (pelagra), beri-beri, kekurangan
atau kelebihan vitamin B6 (piridoksin) dan kekurangan vitamin B12
Pengecapan
dan pembauan bisa dipengaruhi kekurangan seng
Sistem
pembuluh darah jantung bisa dipengaruhi oleh :
·beri-beri
·kegemukan
(obesitas)
·makanan
tinggi lemak menyebabkan hiperkolesterolemi dan penyakit jantung
koroner
·makanan
kaya garam bisa menyebabkan tekanan darah tinggi
Saluran
pencernaan dipengaruhi oleh pelagra, kekurangan asam folat dan banyak
minum alkohol
Mulut
(lidah, bibir, gusi dan membran mukosa) dipengaruhi oleh kekurangan
vitamin B dan vitamin C
Pembesaran
kelenjar tiroid terjadi akibat kekurangan iodium
Kecenderungan
mengalami perdarahan dan gejala pada kulit seperti ruam kemerahan, kulit
kering dan pembengkakan karena penimbunan cairan (edema) bisa
terjadi pada kekurangan vitamin K, kekurangan vitamin C, kekurangan
vitamin A dan beri-beri
Tulang dan
sendi dapat terkena ricketsia, osteomalasia, osteoporosis dan kekurangan
vitamin C. (1,2)
Status
gizi seseorang dapat ditentukan melalui beberapa cara, yaitu:
Mengukur
tinggi badan dan berat badan, lalu membandingkannya dengan tabel
standar.
Menghitung
indeks massa tubuh (BMI, Body Mass Index), yaitu berat
badan (dalam kilogram) dibagi dengan tinggi badan (dalam meter).
Indeks massa tubuh antara 20-50 dianggap normal untuk pria dan wanita.
Mengukur
ketebalan lipatan kulit. Lipatan kulit di lengan atas sebelah belakang
(lipatan trisep) ditarik menjauhi lengan, sehingga lapisan lemak
dibawah kulitnya dapat diukur, biasanya dengan menggunakan jangka
lengkung (kaliper). Lemak dibawah kulit banyaknya adalah 50% dari
lemak tubuh. Lipatan lemak normal adalah sekitar 1,25 cm pada laki-laki
dan sekitar 2,5 cm pada wanita.
Status gizi
juga bisa diperoleh dengan mengukur lingkar lengan atas untuk
memperkirakan jumlah otot rangka dalam tubuh (Lean Body Mass,
massa tubuh yang tidak berlemak). (1,2)
Foto rontgen dapat membantu menentukan densitas tulang dan
keadaan dari jantung dan paru-paru, juga bisa menemukan kelainan saluran
pencernaan yang disebabkan oleh malnutrisi.
Pada malnutrisi yang berat, dilakukan pemeriksaan hitung jenis
sel darah lengkap serta pemeriksaan darah dan air kemih untuk mengukur kadar
vitamin, mineral dan limbah metabolit seperti urea. Pemeriksaan kulit juga
bisa dilakukan untuk menilai jenis-jenis tertentu dari kekebalan. (1,2)
ETIOLOGI
Kwashiorkor merupakan suatu keadaan dimana terjadi kekurangan
zat-zat gizi ensensial, yang bisa disebabkan oleh:
·Asupan
yang kurang karena makanan yang jelek atau penyerapan yang buruk dari usus
(malabsorbsi)
·Penggunaan
berlebihan dari zat-zat gizi oleh tubuh
·Kehilangan
zat-zat gizi yang abnormal melalui diare, pendarahan, gagal ginjal atau
keringat yang berlebihan. (1,2)
FAKTOR RESIKO
Bayi dan anak-anak merupakan resiko terbesar untuk mengalami
kekurangan gizi karena mereka membutuhkan sejumlah besar kalori dan zat gizi
untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Mereka bisa mengalami kekurangan zat
besi, asam folat, vitamin C dan tembaga karena makanan yang tidak memadai.
Kekurangan asupan protein, kalori dan zat gizi lainnya bisa menyebabkan
terjadinya kekurangan kalori protein (KKP), yang merupakan suatu
bentuk dari malnutrisi yang berat, yang akan menghambat pertumbuhan dan
perkembangan. (1,2)
Kecenderungan untuk mengalami perdarahan pada bayi baru lahir (penyakit
hemoragik pada bayi baru lahir), disebabkan oleh kekurangan vitamin K, dan
bisa berakibat fatal. Sejalan dengan pertumbuhannya, kebutuhan makanan
anak-anak akan bertambah, karena laju pertumbuhan mereka juga bertambah.
Pada wanita hamil atau wanita menyusui, kebutuhan zat gizi
meningkat untuk mencegah malnutrisi pada bayi dan dirinya sendiri.
Asam folat diberikan selama kehamilan untuk menurunkan resiko gangguan
perkembangan otak atau tulang belakang (spina bifida) pada bayi.
Meskipun pada wanita-wanita pemakai pil KB lebih mungkin untuk menderita
kekurangan asam folat, tidak ada bukti bahwa bayinya akan menderita
defisiensi asam folat. (1,2)
Bayi yang berasal dari ibu peminum alkohol akan mengalami
gangguan keseimbangan fisik dan mental (sindroma alkohol pada janin),
karena penyalahgunaan alkohol dan malnutrisi yang disebabkannya, bisa mempengaruhi
pertumbuhan janin.
Bayi yang mendapatkan ASI eksklusif, bisa mengalami kekurangan
vitamin B12, jika ibunya adalah seorang vegetarian. Banyak makanan yang
dinyatakan dapat meningkatkan kesehatan atau menurunkan berat badan. Tetapi
pembatasan makanan yang sangat ketat, berdasarkan ilmu gizi adalah tidak
sehat, karena dapat menyebabkan: (1,2)
·Kekurangan
vitamin, mineral dan protein
·Gangguan
jantung, ginjal dan metabolisme
·Kematian
.
Asupan kalori yang sangat rendah (kurang dari 400 kalori/hari)
tidak dapat mempertahankan kesehatan dalam waktu yang lama.
KLASIFIKASI
MALNUTRISI
Diantara kelaparan yang berat dan nutrisi yang cukup, terdapat
tingkatan yang bervariasi dari nutrisi yang tidak memadai, seperti Kurang
Kalori Protein (KKP), yang merupakan penyebab kematian pada anak-anak di
negara-negara berkembang.
Pertumbuhan yang cepat, adanya infeksi, cedera atau penyakit menahun, dapat
meningkatkan kebutuhan akan zat-zat gizi, terutama pada bayi dan anak-anak
yang sebelumnya telah menderita malnutrisi. Kurang kalori protein
disebabkan oleh konsumsi kalori yang tidak memadai, yang mengakibatkan
kekurangn protein dan mikronutrisi (zat gizi yang diperlukan dalam
jumlah sedikit, misalnya vitamin dan mineral). Terdapat tiga jenis KKP,
yaitu:
KKP Kering :
jika seseorang tampak kurus dan mengalami dehidrasi
KKP Basah :
jika seseorang tampak membengkak karena tertahannya cairan
KKP Menengah
: jika seseorang berada dalam kondisi diantara KKP kering dan KKP basah.
(1,2)
KKP
basah disebut kwashiorkor, yang dalam bahasa Afrika berarti 'anak
pertama-anak kedua'. Istilah tersebut berdasarkan pengamatan bahwa anak
pertama menderita kwashiorkor ketika anak kedua lahir dan menggeser anak
pertama dari pemberian ASI ibunya. Anak pertama yang telah disapih tersebut
mendapatkan makanan yang jumlah zat gizinya lebih sedikit bila dibandingkan
dengan ASI, sehingga tidak tumbuh dan berkembang. Kekurangan protein pada
kwashiorkor biasanya lebih jelas dibandingkan dengan kekurangan kalori, yang
mengakibatkan:
·tertahannya
cairan (edema)
·penyakit
kulit
·perubahan
warna rambut. (1,2)
Anak yang menderita kwashiorkor biasanya telah menjalani
penyapihan, sehingga usianya lebih besar daripada anak yang menderita
marasmus. Kwashiorkor lebih jarang ditemukan dan biasanya terjadi dalam
bentuk marasmik-kwashiorkor.
Kwashiorkor cenderung terjadi di negara-negara dimana serat dan makanan
digunakan untuk menyapih bayi (misalnya umbi jalar, singkong, beras, kentang
dan pisang), yang sedikit mengandung protein dan sangat banyak mengandung zat
tepung; yaitu di pedesaan Afrika, Karibia, kepulauan Pasifik dan Asia
Tenggara. (1,2)
Pada kwashiorkor, tubuh hanya mampu menghasilkan sedikit protein
baru. Akibatnya kadar protein dalam darah menjadi berkurang, menyebabkan
cairan terkumpul di lengan dan tungkai sebagai edema.
Kadar kolesterol juga menurun dan terjadi perlemakan pada hati yang membesar
(pengumpulan lemak yang berlebihan di dalam sel-sel hati). (1,2)
Kekurangan protein akan menganggu:
·pertumbuhan
badan
·hormon
kekebalan
·kemampuan
untuk memperbaiki kerusakan jaringan
·produksi
enzim dan hormone. (1,2)
Pada marasmus dan
kwashiorkor sering terjadi diare. Perkembangan tingkah laku pada anak
yang menderita malnutrisi berat sangat lambat dan bisa terjadi
keterbelakangan mental. Biasanya anak yang menderita marasmus tampak lebih
sakit daripada anak yang lebih tua yang menderita kwashiorkor.
MANIFESTASI KLINIK
1.Gejala
yang terpenting adalah pertumbuhan yang terganggu
2.Perubahan
mental
3.Ditemukan
edema baik ringan maupun berat
4.Gejala
gastrointestinal seperti anoreksia
5.Perubahan
ramut, seperti mudah dicabut
6.Kulit
penderita biasanya kering
7.Pembesaan
hati bisa ditemukan
8.Anemia
ringan pada sebagian penderita
9.Kadar
albumin seru rendah
10.Letargia
dan apati (4,5,6)
PROGNOSIS
Lebih dari 40% anak-anak yang menderita KKP meninggal.
Kematian yang terjadi pada hari pertama pengobatan biasanya disebabkan oleh:
·gangguan
elektrolit
·infeksi
·hipotermia (suhu tubuh yang sangat rendah)
·kegagalan
jantung. (1,2)
Keadaan setengah
sadar (stupor), jaundice (sakit kuning), pendarahan kulit,
rendahnya kadar natrium darah dan diare yang menetap merupakan
pertanda buruk. Pertanda yang baik adalah hilangnya apati, edema
dan bertambahnya nafsu makan. Penyembuhan pada kwashiorkor berlangsung lebih
cepat. Efek jangka panjang dari malnutrisi pada masa kanak-kanak tidak
diketahui.
Jika anak-anak diobati dengan tepat, sistem kekebalan dan hati akan sembuh
sempurna. Tetapi pada beberapa anak, penyerapan zat gizi di usus tetap
mengalami gangguan. (1,2)
Beratnya gangguan
mental yang dialami berhubungan dengan lamanya anak menderita malnutrisi,
beratnya malnutrisi dan usia anak pada saat menderita malnutrisi.
Keterbelakangan mental yang bersifat ringan bisa menetap sampai anak mencapai
usia sekolah dan mungkin lebih. (1,2)
4.Staf
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku
Kuliah 1 Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu Kesehatan anak Fakultas Kedokteran
universitas Indonesia. Jakarta. 1985