Apa itu adiksi ?? Adiksi berasal dari kata addictere (bahasa
Latin). Itu mengacu kepada hukum yang berlaku di Kerajaan Romawi atas seseorang
yang sebelumnya bebas lalu ditangkap untuk kemudian dijadikan budak. Adiksi sendiri dalam pemakaian bahasa
sehari-hari berarti suatu keterikatan atau suatu dorongan untuk mengulang-ulang
penggunaan zat tertentu atau perilaku tertentu. Jadi adiksi sebenarnya tidak
terbatas hanya pada penyalahgunaan narkoba saja, tetapi ada begitu banyak adiksi
yang lain, misalnya adiksi terhadap judi, pekerjaan, seks, dan juga games.
Di Amerika Serikat sudah sejak abad ke-18
terjadi pertentangan mengenai penyebab dari adiksi tersebut. Pandangan pertama
mengacu pada pendapat Benjamin Rush (1745-1813), seorang dokter yang bertugas
pada saat perang sipil yang merupakan salah seorang penanda tangan Declaration
of Independence. Dia mengatakan, “Adiksi adalah suatu keadaan
ketika seseorang tidak mampu untuk mengendalikan kehendaknya.” Dengan kata lain
ini merupakan suatu keadaan yang tidak normal atau suatu penyakit yang lebih
membutuhkan penanganan secara medis ketimbang penanganan cara lain. Pandangan
kedua mengacu kepada pendapat seorang pengkhotbah terkenal, yaitu Jonathan
Edwards, yang pada 1754 memublikasikan Freedom of the Will: “A man never, in any
instance, wills any thing contrary to his desires, or desires any thing contrary
to his will. His will and desire do not run counter at all ; the thing which he
wills, the very same he desires” (Hasrat seseorang tidak mungkin bertentangan
dengan hal-hal yang akan dilakukannya, atau hal-hal yang dilakukan seseorang
tidak mungkin bertentangan dengan hasratnya). Jadi menurut Edwards, jika seorang minum
alkohol (zat adiktif), itu merupakan suatu objek yang cocok dengan hasil dari
kehendaknya (hasratnya) dan hal tersebut merupakan suatu tindakan yang secara
sukarela dilakukannya. Atau dengan kata lain penggunaan zat adiktif (adiksi)
merupakan suatu pilihan yang secara sadar ditentukan berdasarkan hasrat
seseorang.
Kedua pandangan itu terus berkembang menjadi
berbagai teori tentang penyebab/pencetus adiksi. Dalam buku Raising Drug Free
Children dapat dibaca beberapa teori tentang terjadinya adiksi. Misalnya, teori universal yang ditemukan Weil
dan Rosen (1993) mengatakan, “Kebutuhan untuk mencari pengalaman yang membawa
kenikmatan repetisi periodik yang berasal dari satu jenis aktivitas telah
dimulai sejak dini dalam hidup seseorang.”
Teori-teori lain yang dituliskan dalam buku
tersebut antara lain teori tentang faktor genetis, teori tentang faktor
psikososial, dan mungkin jika digali lagi dari berbagai buku, akan ditemukan
banyak lagi teori-teori lain mengenai adiksi.
Jangan-jangan semua teori tersebut
mengandung kebenaran dan terjadinya adiksi disebabkan gabungan teori tersebut.
Jangan-jangan hal itu yang semakin menyulitkan seorang pecandu untuk pulih dari
kecanduannya?
Bagaimana Adiksi Bekerja
Jika pembaca peduli dan mempunyai minat untuk
menolong pecandu, ada baiknya selain mengerti teori-teori tentang adiksi juga
mengerti dan memahami apa yang terjadi dalam pikiran pecandu. Beberapa hal yang
dapat menolong kita adalah bahwa ada paling sedikit tiga tingkatan untuk menjadi
pecandu: Pertama , tingkat coba-coba, kedua tiingkat pengguna
tetap dan ketiga tingkat kecanduan.
Ciri-ciri itu
paling banyak dapat dilihat melalui perilaku. Jadi sangat penting agar kita lebih
peka melihat perubahan-perubahan perilaku, khususnya pada remaja.
Akan sangat bijaksana jika terjadi perubahan
perilaku jangan langsung diidentikkan dengan perilaku adiksi. Dibutuhkan suatu
hubungan komunikasi yang baik antara orang tua dan anak-anak dan sebaliknya.
Untuk menentukan seorang itu pecandu atau bukan, diperlukan bantuan
tenaga-tenaga yang telah berpengalaman di bidang adiksi misalnya dokter,
psikolog, konselor adiksi, pekerja sosial, atau rohaniwan.
Hal kedua dalam mengenal perilaku adiksi adalah
apa yang disebut sebagai mekanisme pertahanan mental (mental defense mechanism).
Mekanisme itu merupakan suatu hal yang secara normal ada pada manusia dan
merupakan suatu ciri-ciri yang universal ada pada pikiran manusia. Aktifnya
mekanisme itu bisa secara sadar, setengah sadar atau tanpa disadari, yang
bertujuan melindungi ‘ego’ seseorang, perasaan, keadaan, atau fakta yang tidak
menyenangkan.
Pada tulisan ini saya mengajukan tiga mekanisme
pertahanan mental yang biasanya muncul pada diri pecandu.
Pertama, penyangkalan. Biasanya dalam
diri manusia sering timbul penyangkalan-penyangkalan terhadap suatu keadaan atau
fakta yang menimbulkan ketidaknyamanan. Pada pecandu ‘denial’ timbul karena dia
tidak mau melepaskan zat ‘kesayangannya’ atau penyangkalan terhadap perilaku
adiksinya.
Kedua, Rasionalisasi, kalimat yang
biasa keluar dari mulut pecandu ialah “Nggak separah itu kok” atau “Saya akan
segera berhenti, kan saya sudah ke dokter ahli itu.” Kalimat-kalimat tersebut
merupakan tanda dari aktifnya mekanisme rasionalisasi tersebut.
Ketiga, Proyeksi, mekanisme yang
paling sulit untuk dikenali, terutama bagi para pendamping atau konselor yang
belum berpengalaman dalam mengenal perilaku adiksi. Biasanya kalimat yang muncul
adalah “Ini gara-gara hal itu sih maka gue pake narkoba” atau “Daripada gue
dicurigain terus, sekalian aja gue pake.” Jadi proyeksi adalah suatu mekanisme
yang biasa digunakan para pecandu untuk ‘menggeser’ persoalan atau ‘memindahkan’
kesalahan ke arah lain atau ke orang lain.
Harap diingat bahwa setiap orang mempunyai
mekanisme pertahanan mental masing-masing, tetapi pada orang-orang yang tidak
mempunyai perilaku adiksi, penggunaan mekanisme pertahanan mental itu masih
dalam batas normal, sementara penggunaannya pada pecandu menyulitkan proses
pulih dari adiksinya. Para penolong juga akan berhadapan dengan keluarga
pecandu, yang biasanya sudah berperilaku sama dengan pecandu, biasa disebut
sebagai co-dependency. Perbedaannya keluarga tidak menggunakan atau melakukan
hal-hal yang dilakukan si pecandu.
Jalan Terakhir Sembuh
Hal lain yang harus diketahui adalah bahwa
proses pulih, bukan suatu proses yang mudah dan sederhana.Paling tidak
dibutuhkan suatu keteguhan dan kesabaran dari semua pihak yang berhubungan
langsung dengan pecandu.
Biasanya pecandu
sukar membuat keputusan untuk mulai mencari pertolongan dan di dalam
dinamika kecanduan ada istilah yang disebut sebagai rock bottom. Rock bottom
adalah suatu keadaan ketika dalam diri pecandu muncul kesadaran untuk segera
mencari pertolongan. Ada beberapa faktor yang dapat menimbulkan keadaan
tersebut.
Pertama; Faktor fisik, pecandu
terkena penyakit tertentu atau pernah mengalami overdosis.
Kedua; Faktor ekonomi, pecandu
menjadi sadar karena uang dan barang sudah habis.
Ketiga; Faktor psikologis,
pecandu merasa tertekan atau depresi mengingat perilaku
adiksinya.
Keempat; Faktor sosiologis,
pecandu menjadi sadar, karena hampir tidak mempunyai kehidupan sosial yang
normal lagi. Teman tidak ada, keluarga menjauh, dan lain sebagainya.
Kelima; Faktor spiritual,
pecandu merasa berdosa karena telah melakukan hal-hal yang dilarang agama.
Kepribadian pecandu narkoba bisa saja timbul
karena ada dua faktor atau lebih yang terjadi bersamaan atau berurutan. Tetapi
penting diingat bahwa setiap pecandu mempunyai kepribadian masing-masing. Jadi
adanya kepribadian ini merupakan hal yang sangat personal dan tidak dapat
dikondisikan atau direkayasa.
Apabila Pecandu Ingin
Pulih.
Pertama, tahap rehabilitasi
medis; Pada tahap ini, seluruh kesehatan fisik dan mental diperiksa dan dokter
yang telah terlatihlah yang memutuskan apakah perlu mendapat obat tertentu,
misalnya untuk mengurangi gejala putus zat (sakau).
Kedua, tahap rehabilitasi
nonmedis; Pada tahap ini pecandu ikut dalam program rehabilitasi. Di Indonesia
sudah ada tempat-tempat rehabilitasi nonmedis dengan program therapeutic
communities (TC); 12 steps; pendekatan keagamaan, dan lain-lain.
Ketiga, tahap bina lanjut
(after care); Pada tahap ini pecandu diberi kegiatan sesuai dengan minat dan
bakatnya untuk mengisi aktivitasnya sehari-hari. Dapat juga membawa pecandu
kembali ke sekolah atau ke tempat kerjanya, tetapi tetap berada dalam
pengawasan.
Pada setiap tahap idealnya dilakukan pengawasan
secara terusmenerus dan secara berkala diadakan evaluasi terhadap proses
pulihnya seorang pecandu. Pada tahap rehabilitasi nonmedis, pecandu dianjurkan
untuk mengikuti program yang sesuai dengan hasil evaluasinya, apakah dengan
metode TC, atau 12 steps, atau pendekatan keagamaan atau memang sudah
memungkinkan untuk rawat jalan. Dalam penelitian yang dilakukan di Amerika,
proses rawat inap dianjurkan tidak lebih dari empat minggu dan menurut Mrc A
Schuckit, MD, program grup terapi merupakan program yang biayanya lebih murah
daripada konseling pribadi.
Dalam dinamika adiksi atau ketika menolong
pecandu, sering kali dihindari penggunaan kata sembuh karena pada pecandu sering
terjadi relapse (kambuh) sehingga istilah yang digunakan ialah ‘pulih’ atau
recovery. Istilah yang digunakan untuk adiksi ialah chronic relapsing disease
(penyakit menahun yang sering kambuh).
Secara universal ada dua hal yang menjadi
faktor penghambat dalam proses pulihnya pecandu. Ketidaktahuan akan dinamika
kecanduan dan Aktifnya mekanisme pertahanan mental pada diri pecandu dan/atau
keluarganya.
Hal lain yang juga menjadi kendala ialah jumlah
sumber daya manusia (dokter, psikolog konselor, rohaniwan, dan pekerja sosial)
dan sarana yang menangani masalah adiksi dirasakan masih sangat kurang.
sumber ; bnn.go.id